BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Perbankan dan Fungsi Perbankan
di Indonesia
Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia
terletak pada industri perbankan. Pengakuan secara yuridis formal mengenai
eksistensi perbankan sudah berlangsung lebih kurang 39 tahun sejak
dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 didasarkan kepada pemikiran dan jiwa
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XVIII/MPRS/1966 yang
menginginkan perlunya penilaian kembali terhadap Tata Perbankan. Pengaturan
Tata Perbankan dilandasi kepada hal-hal sebagai berikut: pertama, tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang
menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia
serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter pemerintah di bidang
perbankan; kedua, memobilisasikan dan
memperkembangkan seluruh potensi yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan
asas-asas demokrasi ekonomi; ketiga,
membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut bagi kepentingan perbaikan
ekonomi rakyat. Dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai pernyataan yang
tegas mengenai fungsi perbankan Indonesia. Dengan demikian, pengertian dari
hukum perbankan adalah himpunan peraturan berupa UU, peraturan Pemerintah dan
keputusan-keputusan lainnya yang dikeluarkan instansi yang berwenang, yang
berkaitan dengan bank dan transaksi perbankan lainnya.
Sesuai dengan dinamika
perekonomian nasional dan internasional diikuti perubahan budaya yang bergerak
cepat dengan tantangan yang semakin kompleks dan meluas, maka Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 perlu disusun kembali dengan mengadakan pembaharuan pada
tataran idealistik hukum sehingga mampu menyahuti realistik hukum. Pembaharuan
diawali dengan adanya indikasi perubahan di bidang perbankan sejak tahun 1983
yang diikuti dengan kebijakan baru di bidang moneter dan perbankan yang dikenal
dengan tahap awal deregulasi. Kebijakan selanjutnya diikuti dengan Paket Juni
(Pakjun) 1983, disusul dengan Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket
Februari 1991, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 dengan melahirkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Melalui undang-undang ini
dinyatakan bahwa perbankan memiliki fungsi utama sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat. Fungsi perbankan tersebut pada era reformasi tetap
dikukuhkan dan tidak mengalami perubahan sebagaimana terlihat dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang No. 10 Tahun
1998 ini membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir
13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 memberikan batasan pengertian
prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
Dengan fungsi perbankan yang
demikian maka kehadiran bank di dalam masyarakat sebagai badan usaha memiliki
arti yuridis dan peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional.
Dalam agenda pembangunan nasional tahun 2004 – 2009 secara politis dikatakan
bahwa kondisi perbankan dan lembaga keuangan lainnya belum mantap. Lemahnya
pengaturan dan pengawasan terhadap produk perbankan dan keuangan yang semakin
bervariasi dan kompleks, serta dalam mengantisipasi globalisasi perdagangan
jasa dan inovasi teknologi informasi, telah meningkatkan arus transaksi
keuangan masuk dan keluar Indonesia. Pernyataan politik hukum ini pada tataran
landasan teknis operasional menghendaki adanya perubahan Undang-Undang
Perbankan di masa yang akan datang. Politik hukum yang dimaksudkan adalah
aktivitas memilih suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dengan keharusan untuk
menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai
untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam kaitannya dengan politik hukum perbankan
adalah bagaimana arahan dari kehendak pelaku politik yang memiliki beraneka
kepentingan hukum untuk mewujudkan tujuan negara, dan dalam hal yang kongkret
politik hukum merupakan alat untuk merespons persoalan perbankan melalui
pembuatan undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Beberapa hal yang
harus disikapi adalah dengan meletakkan asas hukum (rechtsbeginsel, principle of law) perbankan yang sesuai dengan
cita-cita masyarakat terkini dengan tetap mempertahankan eksistensi prinsip
kepercayaan dan kehati-hatian (prudential
banking) dalam menjalankan usaha bank. Selain itu, pengelolaan bank harus didasarkan
kepada asas-asas tata pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).
Pada saat ini pelaksanaan
fungsi perbankan terlihat dari pengaturan usaha bank yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Perbankan. Usaha bank yang dimaksud tidak bersifat limitatif
melainkan enumeratif, sehingga memungkinkan hubungan antara bank dengan
nasabahnya untuk melakukan perjanjian yang tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam arti yuridis, fungsi
perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat merupakan esensi
perjanjian yang meliputi 2 (dua) hal yaitu menghimpun dana dari masyarakat,
disebut sebagai perjanjian simpanan, dan menyalurkan dana ke masyarakat,
disebut sebagai perjanjian kredit bank. Perjanjian simpanan dan perjanjian
kredit bank pada bank konvensional berbeda dengan perjanjian simpanan dan
perjanjian pembiayaan pada bank syariah. Perbedaan ini terletak pada filsafat
yang dianut dari kedua sistem bank yang bersangkutan. Bank syariah tidak
menggunakan sistem bunga, sedangkan bank konvensional memakai sistem bunga
dalam kegiatan usahanya. Di samping itu, terdapat perbedaan pada aspek
operasional, sosial, dan organisasinya. Sebenarnya istilah bank konvensional
kurang tepat jika hendak dipersandingkan atau diperlawankan dengan bank
syariah. Lebih tepat dipakai frase “bank non-syariah”. Seolah-olah bank
konvensional itu kuno, kolot, dan tidak membawa perubahan. Kenyataan yuridis
dalam ius constitutum, figur-figur
hukum yang lahir dari produk bank non-syariah lebih besar frekuensinya
dibandingkan dengan bank syariah. Kedua bentuk perjanjian tersebut akan dilihat
dalam perspektif hukum perdata yang mencakup hukum perjanjian pada satu sisi
dan hukum benda pada sisi lainnya khususnya hukum jaminan.
2. Jenis-Jenis Bank
Sejak diberlakukannya
Undang-Undang nomor 10 tahun 1998, jenis bank dapat dibedakan menjadi Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat.
1. Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sifat jasa yang diberikan adalah umum. Bank Umum sering juga disebut Bank
Komersial. Usaha-usaha bank umum yang utama antara lain:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. memindahkan uang;
e. menempatkan dana pada atau meminjamkan dana
dari bank lain;
f. menerima pembayaran dari tagihan atas surat
berharga;
g. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan
surat berharga.
Bank umum di Indonesia dilihat dari kepemilikannya
terdiri atas:
a. Bank Pemerintah, seperti BRI, BNI, BTN.
b. Bank Pembangunan Daerah (BPD), seperti BPD DKI
Jakarta.
c. Bank Swasta Nasional Devisa, seperti BCA, NISP,
Bank Danamon.
d. Bank Swasta Nasional Bukan Devisa.
e. Bank Campuran, contoh Sumitomo Niaga Bank.
f. Bank Asing,
seperti Bank of America, Bank of Tokyo.
Bank umum ada yang disebut Bank Devisa dan Bank
Non Devisa:
1. Bank Umum Devisa artinya yang ruang lingkup
gerak operasionalnya sampai ke luar negeri. Seperti bank tersebut dapat membuka
letter of credit (LC), layanan transfer ke luar negeri, membuka tabungan dalam
mata uang asing, dan lain-lain.
2. Bank Umum Non Devisa artinya ruang lingkup
gerak operasionalnya di dalam negeri saja.
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, yang dimaksud Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima
simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Usaha-usaha Bank Perkreditan Rakyat, diantaranya:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa deposito berjangka, dan tabungan;
b. memberi kredit;
c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah; dan
d. menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat
Bank Indonesia (SBI)
Pembagian bank selain didasarkan Undang-Undang
Perbankan dapat juga dibagi menurut kemampuan bank menciptakan alat pembayaran,
yang meliputi:
1. Bank Primer yaitu bank yang dapat menciptakan
alat pembayaran baik berupa uang kartal maupun uang giral. Bank yang termasuk
kelompok ini adalah:
a. Bank Sentral atau Bank Indonesia sebagai
pencipta uang kartal. Selain itu tugas Bank Sentral diantaranya:
- menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
- mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran; dan
- mengatur dan mengawasi bank.
b. Bank Umum sebagai pencipta uang giral (uang
yang hanya berlaku secara khusus dan tidak berlaku secara umum).
2. Bank Sekunder yaitu bank yang tidak dapat
menciptakan alat pembayaran dan hanya berperan sebagai perantara dalam
perkreditan yang tergolong dalam bank ini adalah Bank Perkreditan Rakyat.
3. Istilah Hubungan Hukum sebagai Perjanjian
Membicarakan perjanjian, tidak
dapat dilepaskan dari KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian
dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata “perjanjian”
adalah terjemahan dari overeenkomst, yang
merupakan salah satu sumber dari perikatan (verbintenis).
Substansi dari perjanjian dalam pasal tersebut adalah perbuatan (handeling).
Kata “perbuatan” telah dikritik oleh para ahli hukum dengan alasan kurang memuaskan,
tidak lengkap, dan sangat luas. Seharusnya perjanjian adalah perbuatan hukum (rechtshandeling). Perubahan rumusan ini
dapat dilihat dari pandangan Franken dan Rutten. Franken merumuskan perjanjian
adalah perbuatan hukum yang bersisi banyak antara dua pihak atau lebih untuk
mengadakan perikatan. Rutten mengatakan perjanjian adalah satu perbuatan hukum
untuk mencapai persesuaian kehendak dengan tujuan menimbulkan akibat hukum
tertentu.
Dengan penambahan kata hukum (recht) membawa perubahan arti bahwa
tidak semua perbuatan termasuk dalam pengertian perjanjian. Dalam
perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan
merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding).
Pandangan ini dikemukakan oleh van Dunne yang mengatakan bahwa perjanjian
adalah perbuatan hukum merupakan teori klasik, atau teori konvensional. Communis Opinio Doctorum selama ini
memahami arti perjanjian adalah satu perbuatan hukum yang bersisi dua (een tweezijdige rechtshandeling) yaitu
perbuatan penawaran (aanbod, offer),
dan penerimaan (aanvaarding, acceptance).
Seharusnya perjanjian adalah dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi
satu (twee eenzijdige rechthandeling)
yaitu penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua
orang atau lebih yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolg). Konsep ini melahirkan
arti perjanjian adalah hubungan hukum. Inilah alasan hukum (legal reasoning) yang dipergunakan
mengapa esensi perjanjian yang dimaksudkan adalah sebagai hubungan hukum antara
nasabah dengan debitor. Agar suatu perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4
(empat) persyaratan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. Persyaratan yang demikian juga
dikenal dalam setiap sistem hukum di negara-negara lain, misalnya Inggris,
Perancis, dan Jerman.
4. Hukum Perbankan sebagai Sub Sistem Hukum Perdata
Jika hukum perbankan diartikan
dengan Undang-Undang Perbankan, maka diperoleh batasan bahwa hukum perbankan
adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur segala hal yang
menyangkut tentang bank, baik kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan usaha bank. Namun jika dilihat dalam perspektif
sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan diartikan sebagai kumpulan
peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya
berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan
keseluruhan dari hukum perbankan. Unsur
sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peraturan hukum (norma),
asas-asas hukum, dan pengertian-pengertian hukum yang terdapat di dalamnya.
Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat
keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang
tindih (overlapping) di antara unsur-unsur yuridis tersebut. Kalau terjadi
konflik mengenai persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum
yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.
Kalau Undang-Undang Perbankan
ingin diubah, maka pembangunan sistem hukum perbankan harus dilakukan dengan
cara: pertama, membangun kesadaran publik; kedua, mempersiapkan subtansi hukum,
ketiga, melakukan sosialisasi hukum kepada semua stakeholder; keempat,
mempersiapkan aparatur hukum (struktur hukum); kelima, menyediakan sarana dan
prasarana hukum; keenam, melaksanakan hukum; ketujuh, menciptakan kultur hukum;
kedelapan, melakukan kontrol hukum; dan kesembilan, melahirkan kristalisasi
hukum (nilai hukum).
Eksistensi Undang-Undang Perbankan harus dilihat sebagai subsistem dalam
hukum yang lebih luas meliputi hukum publik (hukum pidana dan hukum
administratif) dan hukum perdata. Fungsi
perbankan sebagai salah satu norma hukum yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, fungsi
perbankan melalui hubungan hukum antara bank dengan nasabah tunduk pada
pengaturan hukum perdata. Hubungan hukum tersebut dapat dikualifikasikan dalam
2 (dua) bentuk. Pertama, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan
disebut perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank dengan nasabah
debitor disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan hukum tersebut
sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk
hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan harus
dapat dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi dana
nasabah penyimpan diatur dalam Lembaga Penjaminan Simpanan, sedangkan bentuk
jaminan untuk melindungi bank sebagai pemberi kredit adalah lembaga jaminan
kebendaan dan jaminan perorangan.
Yang kurang mendapat perhatian
selama ini adalah bagaimana hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan
nasabah debitor? Hubungan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai
hubungan hukum melainkan hubungan moral. Sebagai hubungan moral, maka
pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan
sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian, dalam
pelaksanaan fungsi perbankan terdapat 2 (dua) hubungan hukum dan 1 (satu)
hubungan moral yang dapat digambarkan sebagai sebuah segi tiga sama sisi
sebagai berikut:
Berdasarkan bangunan hukum dan
moral tersebut, maka seorang nasabah debitor yang telah memperoleh pinjaman
kredit dari bank pada hakikatnya bukan saja bertanggung jawab terhadap bank
sebagai pemberi kredit, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap
nasabah penyimpan dana. Di sini terletak makna yang harus diinsafi oleh para
nasabah debitor sehingga penggunaan dana secara benar dan tepat dalam
bentuk-bentuk yang produktif memiliki peran dan memberikan andil dalam
pembangunan sektor ekonomi serta dapat meningkatkan taraf hidup rakyat.
Kegagalan pengelolaan dana pinjaman kredit secara langsung dapat merugikan bank
yang bersangkutan dan secara tidak langsung dapat pula merugikan kepentingan
nasabah penyimpan. Pengalaman krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu ketika
terjadinya bank collapse, nasabah penyimpan tidak memperoleh perlindungan hukum
(rechtsbescherming, legal protection) yang sempurna karena pembentuk
Undang-Undang Perbankan sebelumnya tidak mengaturnya sehingga tidak terdapat
adanya kepastian hukum. Dengan perkataan lain, hak perdata nasabah penyimpan
kurang mendapat pengaturan hukum yang memadai. Keadaan dari peristiwa hukum
(rechtsfeit) tersebut menimbulkan persoalan tersendiri dalam bidang hukum
perdata. Solusi hukum yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu adalah dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, yang berisikan
penjaminan pembayaran kepada nasabah penyimpan dana yaitu para deposan.
Lahirnya Surat Keputusan Presiden tersebut bukan berarti tidak menimbulkan
masalah hukum. Kritik hukum yang muncul dan mendasar adalah mengapa pemerintah
harus menanggung beban dari perbuatan hukum para bankir dengan menetapkan
jumlah maksimum pembayaran yang diberikan kepada nasabah penyimpan. Dalam
tataran normatif, pemerintah tidak seharusnya memberikan jaminan dengan beban
Anggaran Pendapatan Belanja Negara karena lembaga yang lebih berhak adalah
Dewan Perwakilan Rakyat. Surat Keputusan Presiden tersebut lebih bernuansa
sebagai produk kebijakan (policy) dalam ranah politik dan bukan sebagai bagian
dari rangkaian hukum perdata. Oleh karena itu sifatnya hanya sementara.
Seharusnya pertanggungjawaban bank dan nasabah (debitor dan penyimpan)
diselesaikan dalam kerangka sistem hukum perdata.
5. Asas-Asas Hukum Perjanjian Menguasai Hukum Perbankan
Sistem hukum perjanjian
dibangun berdasarkan asas-asas hukum. Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem
hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun
tertib hukum. Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif.
Dilihat dari segi substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran
mendasar tentang kebenaran (waarheid, truth) untuk menopang norma hukum dan
menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. Di depan, di dalam,
dan di belakang pasal-pasal dari hukum perjanjian terletak cita-cita hukum dari
pembentuk hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa
memperhatikan asas hukumnya, maka norma hukum itu akan kehilangan jati diri dan
semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut.
Hubungan antara norma dan asas
hukum perjanjian sedemikian erat seperti bangunan rumah dengan tiang-tiang
sebagai penopangnya. Asas hukum perjanjian merupakan landasan tempat melahirkan
norma hukum, sebagai rohani hukum, sebagai tempat menganyam sistem hukum perjanjian,
sebagai pedoman kerja bagi hakim, dan pelaksana hukum lainnya. Secara
substantif filosofis, asas hukum perjanjian menjadi cita-cita hukum dan secara
ajektif memberikan arah dan patokan untuk bekerja menyelesaikan peristiwa hukum
perjanjian yang kongkret dalam masyarakat. Suatu norma hukum perjanjian yang
baik harus memuat rumusan pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise) dan
tidak membingungkan (unambiguous). Oleh karena itu, tidak dapat diterima secara
utuh cita-cita hukum dari paham liberal sebelum dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan hukum kepribadian bangsa kita (nilai-nilai yang sesuai dengan
pandangan hidup yaitu Pancasila). Hal ini menunjuk betapa pentingnya kedudukan
dan peranan asas hukum perjanjian dalam suatu sistem hukum perbankan.
Berikut ini dapat dikemukakan
sejumlah asas hukum dalam sistem hukum perjanjian yaitu asas konsensualisme,
asas kepastian hukum, asas kepercayaan, asas moral, asas kebebasan berkontrak,
asas persamaan, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, asas
perlindungan bagi golongan lemah, asas kekuatan mengikat, dan asas itikad baik.
Dari sejumlah asas tersebut,
terdapat 3 (tiga) asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem
hukum perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak,
dan asas kekuatan mengikat. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum
awal perjanjian terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak
kesepakatannya. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal
lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas
kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi
dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan melalui karakter hukum
kepribadian bangsa, bukan karakter hukum liberal. Tekanan dari salah satu pihak
melalui posisi inequality of bargaining
power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini
melanggar asas iustum pretium. Perjanjian yang demikian menjadi cacat dan
akibatnya dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable). Persetujuan secara timbal
balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan
tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu. Tanda tangan yang
diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi perjanjian.
Akibatnya perjanjian tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik (te geode trouw, in good faith).
Selain itu, dalam hubungan
hukum antara bank dengan nasabah debitor terdapat sejumlah asas-asas dalam
bidang hukum jaminan. Secara garis besar, hukum jaminan terbagi dalam 2 (dua)
kelompok yaitu hukum jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsrecht), dan hukum
jaminan perorangan (persoonlijke zekerheidsrecht). Hukum jaminan kebendaan
adalah sub sistem dari hukum benda yang mengandung sejumlah asas hak kebendaan
(real right), sedangkan hukum jaminan perorangan merupakan sub sistem dari
hukum perjanjian yang mengandung asas pribadi (personal right). Dengan demikian
hukum jaminan yang obyeknya terdiri dari benda adalah sub sistem dari sistem
hukum benda yang mengandung sejumlah asas hukum kebendaan yaitu asas absolut,
droit de suite, asas assesor, asas assesi, asas pemisahan horizontal, asas
spesifikasi, asas terbuka, dan asas mudah dieksekusi.
Hukum jaminan kebendaan dalam
tataran hukum positif meliputi hukum jaminan kebendaan yang diatur dalam KUH
Perdata yaitu gadai (pand) dan hipotek, sedangkan yang berada di luar KUH
Perdata adalah Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Dengan demikian, masih
terdapat asas-asas hukum jaminan kebendaan yang bersifat khusus sesuai dengan
jenis jaminannya.
Hukum jaminan perorangan
meliputi jaminan perorangan (personal guarantee) dan jaminan perusahaan
(corporate guarantee). Di samping itu dikenal secara khusus jaminan pemerintah
(government guarantee).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar