Translate

Selasa, 29 Mei 2012

instrumen kebijakan moneter islam


BAB I
PENDAHULUAN

Kebijakan moneter merupakan instrumen Bank Sentral yang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi variable-variabel financial seperti suku bunga dan tingkat penawaran uang. Sasaran yang ingin dicapai adalah memelihara kestabilan nilai uang baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia.
Dalam sistem moneter Islam, target-target tersebut hanya dapat tercapai melalui instrumen-instrumen moneter yang konsisten dengan ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab itu maka disini penulis akan membahas mengenai Instrumen Makro Ekonomi Menurut Konsep Islam yang meliputi pengertian kebijakan ekonomi moneter dan kebijakan fiskal, Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebijakan Moneter
Yang dimaksud dengan kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol).[1]
Kebijakan moneter dalam perekonomian modern dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu opersi pasar terbuka (open market operation), penentuan tingkat bunga, ataupun penentuan besarnya cadangan wajib dalam sektor perbankan. Ada instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah selaku pengelola moneter, yaitu himbauan moral atau moral persuasion.[2]

B.     Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter Konvensional
Bank Sentral dalam melakukan implementasi kebijakannya mempunyai empat macam instrument utama, yaitu :[3]
1. Kebijakan Pasar terbuka. (Open Market Operation). Kebijakan membeli atau menjual surat berharga atau obligasi di pasar terbuka. Jika bank sentral ingin menambah suplai uang maka bank sentral akan membeli obligasi, dan sebaliknya bila akan menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan menjual obligasi.
                 Dalam hal ini, pemerintah menjual dan membeli surat-surat utang pemerintah kepada bank-bank komersil atau pihak-pihak lainnya di dalam negeri. Pembayaran-pembayaran yang diterima berarti pemerintah menedot uang dari masyarakat. Pembelian surat-surat utang pemerintah berarti uang dilempar pemerintah ke dalam masyarakat sehingga memperbesar jumlah uang yang beredar.[4]
Berdasarkan tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:[5]
·         Dynamic open market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan monetary base.
·         Defensif open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan
monetary base.

2. Penentuan Cadangan Wajib Minimum. (Reserve Requirement). Bank sentral umumnya menentukan angka rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank (demand deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila bank sentral menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yang sama, bank dapat menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.
3.  Penentuan Discount Rate. Bank sentral merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau komersial dan sebagai sumber dana yang terakhir (the last lender resort). Bank komersial dapat meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di bawah tingkat suku bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount rate yang bank sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial mempengaruhi tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam dari bank sentral. Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga pinjaman, maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk meminjam dari bank sentral.
4.  Moral Suasion atau Kebijakan Bank Sentral yang bersifat persuasif berupa himbauan/bujukan moral yang memengaruhi tindak-tanduk para bankir dan manajer senior institusi-institusi finansial dalam kegiatan operasional keseharian bisnisnya, agar searah dengan kepentingan publik/pemerintah.

C.    Aplikasi Instrumen Moneter Konvensional di Indonesia
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia, seperti juga bank sentral lainnya di dunia, mempunyai beberapa instrumen moneter yang antara lainnya sebagai berikut:
1.       OMO melalui jual-neli sertifikat Bank Indonesia (SBI) di pasar uang.
2.       RR yang ditentukan oleh bank Indonesia.
3.       Ratio Kecukupan Modal atau Capital Adequancy Ratio (CAR) yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI).
4.       Plafon kredit untuk sektor-sektor perioritas tertentu seperti sektor usaha kecil dan menengah di daerah pedesaan.[6]

D.    Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter Islam
Instrumen-instrumen kebijakan moneter islam terdapat dalam tiga mazhab, yaitu:
a.       Mazhab Iqthisoduna (Baqir Ash Shadr)
  1. Pada masa awal Islam, tidak diperlukan kebijakan moneter karena hampir tidak adanya  sistem perbankan dan minimnya penggunaan uang.
  2. Uang dipertukarkan dengan sesuatu yang benar-benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
  3. Perputaran uang dalam periode tertentu sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi pada rentang waktu yang sama.

b.      Mazhab Mainstream (Dr. Umer Chapra)
   Bertujuan untuk memaksimalkan sumber daya yang ada agar dapat dialokasikan pada kegiatan perekonomian yang produktif.
   Melalui instrumen “dues of idle fund” yang dapat mempengaruhi besar kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas perekonomian secara keseluruhan.
c.       Mazhab Alternatif/Analitis Kritis (Dr. M.A. Choudury)
Kebijakan moneter melalui “syuratiq process”, dimana suatu kebijakan  yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil. Sehingga terjadi harmonisasi antara kebijakan moneter dan sektor riil. [7]
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :
1. Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
2. Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
3. Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending ( meminjamkan ), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
4. Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
5. Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
6. Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment Certificate

Penjualan atau pembelian sertipikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan system bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate. Kapan pun bank sentral ingin menurunkan jumlah uang beredar, sertifikat tersebut akan dijual kepada bank komersial, begitu sebaliknya, ketika bank sentral membeli sertifikat tersebut berarti bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar.[8]

E.     Aplikasi Instrumen Moneter Islam di Indonesia
Bank yang berdasarkan syariah Islam, BI menjalankan fungsinya bank sentral dengan instrumen-instrumen sebagai berikut.
  1. Giro Wajib Minimum (GWM): biasa dinamakan juga statutory reserve requirement, adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan Persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan (Prudential Banking) serta berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.
Besaran GWM adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Giro Wadiah;
2.      Tabungan Mudharabah;
3.      Deposito Investasi Mudharabah; dan
4.      Kewajiban lainnya.
Dana Pihak Ketiga dalam IDR tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan BPR. Sedangkan Dana Pihak Ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban kepada pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri atas :
1.      Giro Wadiah;
2.      Deposito Investasi Mudharabah; dan
3.      Kewajiban lainnya.
BI mengenakan denda terhadap kesalahan dan keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GWM. Bank yang melakukan pelanggaran juga terkena sanksi.
  1. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah (Sertifikat IMA): yaitu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak digunakan sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami kekurangan dana.
Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh BI. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankannya kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran dilakukan oleh bank syariah penerbit sebesar nilai nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer elektronik).
3.      Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI): yaitu instrumen Bank Indonesia sesuai dengan syariah Islam. SWBI juga dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan liquiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.
Dalam operasionalnya, SWBI mempunyai nilai nominal minimum Rp 500 juta dengan jangka waktu dinyatakan dalam hari (misalnya: 7 hari, 14 hari, 30 hari).pembayaran atau pelunasan SWBI dilakukan melalui debet/kredit rekening giro di Bank Indonesia. Jika jatuh tempo, dana akan dikembalikan bersama bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat IMA.[9]

  
BAB III
PENUTUP

Perbedaan utama kebijakan moneter konvensional dan Islam adalah Islam tidak mengakui adanya instrumen suku bunga karena jelas dalam Alqur’an riba itu sangat dilarang atau haram. Hikmah pelarangan riba agar terjadi hubungan partnership antara pemilik modal dan usaha secara adil.
Sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base, equity based type of securities masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, sepanjang sesuai dengan prinsip transaksi syariah antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
Kebijakan moneter yang dikelola dengan baik akan menghasilkan tingkat perekonomian yang stabil melalui mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara.


 Daftar Pustaka

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Prathama Rahardja, Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas, 2008.

Sritua Arief, Teori EkonomiMikro dan Makro Lanjutan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.



[1] Prathama Rahardja, Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas, 2008), hlm.435.
[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 217.
[4] Sritua Arief, Teori EkonomiMikro dan Makro Lanjutan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 265.
[6] Adiwarman A. Karim, Op-Cit, hlm. 224.
[7] Ibid., hlm. 225-229.
[9] Adiwarman A. Karim, Op-Cit, hlm. 233-234.

perbedaan bank syariah dengan bank konvensional dirujuk dari pasal-pasal industri perbankan


1.      Perbedaan antara bank Konvensional dengan bank Syariah dirujuk dari pasal-pasal industri perbankan, yaitu:
  1. Aspek Kelembagaan Bank
  • Bank Syariah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
BAB III
PERIZINAN DAN BENTUK BADAN

Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 5
1.      Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.
2.      Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a.       susunan organisasi dan kepengurusan;
b.      permodalan;
c.       kepemilikan;
d.      keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e.       kelayakan usaha.
3.      Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.
4.      Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya.
5.      Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
6.      Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia.
7.      Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional.
8.      Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat.
9.      Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.

Pasal 6
1.      Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
2.      Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
3.      Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
4.      Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.

Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum
Pasal 7
Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.

  • Bank Konvensional

UNDANG-UNDANG NOMOR NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UU No. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
BAB IV
PERIZINAN
DAN BENTUK  BADAN HUKUM

Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 16
1.      Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
2.      Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
a.       susunan organisasi dan kepengurusan;
b.      permodalan ;
c.       kepemilikan;
d.      keahlian di bidang Perbankan;
e.       kelayakan rencana kerja.
3.      Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 17
Dihapus


Pasal 18
1.      Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
2.      Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
3.      Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
4.      Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

Pasal 19
1.      Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
2.      Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pasal 20
1.      Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
2.      Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
3.      Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedua
Bentuk Hukum

Pasal 21
1.      Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa :
a.       Perseroan Terbatas ;
b.      Koperasi  ; atau
c.       Perusahaan Daerah.
2.      Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari :
a.       Perusahaan Daerah ;
b.      Koperasi  ;
c.       Perseroan Terbatas ;
d.      Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3.      Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.




  1. Aspek Produk
  • Bank Syariah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
BAB IV
JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN
LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS

Bagian Kesatu
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pasal 19
(1)    Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a.    menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b.    menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.    menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang  tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d.   menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e.    menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f.     menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g.    melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h.    melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i.      membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j.      membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k.    menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l.      melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m.  menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n.    memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o.    melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p.    memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q.    melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)    Kegiatan usaha UUS meliputi:
a.    menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b.    menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.    menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d.   menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e.    menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f.     menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g.    melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h.    melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i.      membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j.      membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k.    menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l.      menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m.  memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n.    memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Bank Konvensional

PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/6/PBI/2005
TENTANG
TRANSPARANSI INFORMASI PRODUK BANK.

Pasal 4
(1)   Bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam Bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai karakteristik setiap Produk Bank.
(2)   Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada nasabah secara tertulis dan atau lisan.
(3)   Dalam memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan
atau tidak etis (misconduct).

Pasal 5
(1)   Informasi mengenai karakteristik Produk Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sekurang-kurangnya meliputi:
a.       Nama Produk Bank;
b.      Jenis Produk Bank;
c.       Manfaat dan risiko yang melekat pada Produk Bank;
d.      Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank;
e.       Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank;
f.       Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan;
g.      Jangka waktu berlakunya Produk Bank; dan
h.      Penerbit (issuer/originator) Produk Bank;
(2)   Dalam hal Produk Bank terkait dengan penghimpunan dana, Bank wajib memberikan informasi mengenai program penjaminan terhadap Produk Bank tersebut.

Pasal 6
(1)   Bank wajib memberitahukan kepada Nasabah setiap perubahan, penambahan, dan atau pengurangan pada karakteristik Produk Bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
(2)   Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada setiap nasabah yang sedang memanfaatkan Produk Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum berlakunya perubahan, penambahan dan atau pengurangan pada karakteristik Produk Bank tersebut.

Pasal 7
Bank dilarang mencantumkan informasi dan atau keterangan mengenai
karakteristik Produk Bank yang letak dan atau bentuknya sulit terlihat dan atau
tidak dapat dibaca secara jelas dan atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Pasal 8
(1)   Bank wajib menyediakan layanan informasi karakteristik Produk Bank yang dapat diperoleh secara mudah oleh masyarakat.
(2)   Penyediaan layanan informasi mengenai Produk Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7.

  1. Aspek Akad atau Kontrak
  • Bank Syariah

KETENTUAN PASAL 36 PERATURAN BANK INDONESIA NO 6/24/PBI/2004

Sebagaimana telah diubah dengan PBI no 7/35/PBI/2005 Menetapkan, bahwa:
Bank Syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya, yang meliputi:
1.      melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara lain:
a.       giro berdasarkan prinsip wadiah
b.      tabungan berdasarkan wadiah atau mudharabah
c.       deposito berjangka bersasarkan mudharabah
2.      melakukan penyaluran dana melalui :
a.       prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain murabahah, istisna, dan salam.
b.      Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudarabah dan musyarakah
c.       Prinsip sewa menyewa berdasarkan prinsip ijarah dan IMBT
d.      Pinjam meminjam berdasarkan akad qardh
3.      Melakukaan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain wakalah, hawalah, kafalah, dan rahn.

  • Bank Konvensional

UNDANG-UNDANG NOMOR NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG PERUBAHAN ATAS 
UU No. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN 

Bagian Kedua
Usaha Bank Umum
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi :
a.       menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b.      memberikan kredit ;
c.       menerbitkan surat pengakuan hutang ;
d.      membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
1.      surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
2.      surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
3.      kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;
4.      Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;
5.      obligasi  ;
6.      surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
7.       instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
e.       memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ;
f.       menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ;
g.      menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan antar pihak ketiga ;
h.      menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;
i.        melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ;
j.        melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;
k.      dihapus  ;
l.        melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat ;

Pasal 7
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula :
a.       melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;