BAB I
PENDAHULUAN
Kebijakan moneter
merupakan instrumen Bank Sentral yang sengaja dirancang sedemikian rupa
untuk mempengaruhi variable-variabel financial seperti suku bunga dan tingkat
penawaran uang. Sasaran yang ingin dicapai adalah memelihara kestabilan nilai
uang baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Secara prinsip, tujuan
kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter
konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal
maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan
dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan
ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia.
Dalam sistem moneter Islam, target-target tersebut hanya
dapat tercapai melalui instrumen-instrumen moneter yang konsisten dengan
ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab itu maka disini penulis akan membahas mengenai
Instrumen Makro Ekonomi Menurut Konsep Islam yang meliputi pengertian kebijakan
ekonomi moneter dan kebijakan fiskal, Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter
dalam Konvensional dan Syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kebijakan
Moneter
Yang dimaksud dengan kebijakan moneter
adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang
diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud
dengan kondisi lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau
terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol).[1]
Kebijakan moneter dalam perekonomian
modern dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu opersi pasar terbuka (open
market operation), penentuan tingkat bunga, ataupun penentuan besarnya cadangan
wajib dalam sektor perbankan. Ada instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah selaku pengelola moneter,
yaitu himbauan moral atau moral persuasion.[2]
B.
Instrumen-instrumen
Kebijakan Moneter Konvensional
Bank Sentral dalam melakukan
implementasi kebijakannya mempunyai empat macam instrument utama, yaitu :[3]
1.
Kebijakan Pasar
terbuka. (Open Market Operation). Kebijakan membeli atau menjual surat berharga
atau obligasi di pasar terbuka. Jika bank sentral ingin menambah suplai uang
maka bank sentral akan membeli obligasi, dan sebaliknya bila akan menurunkan
jumlah uang beredar maka bank sentral akan menjual obligasi.
Dalam hal ini, pemerintah menjual dan membeli
surat-surat utang pemerintah kepada bank-bank komersil atau pihak-pihak lainnya
di dalam negeri. Pembayaran-pembayaran yang diterima berarti pemerintah menedot
uang dari masyarakat. Pembelian surat-surat utang pemerintah berarti uang
dilempar pemerintah ke dalam masyarakat sehingga memperbesar jumlah uang yang
beredar.[4]
Berdasarkan
tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:[5]
·
Dynamic open
market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan monetary
base.
·
Defensif
open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan
monetary base.
monetary base.
2.
Penentuan Cadangan
Wajib Minimum. (Reserve Requirement). Bank sentral umumnya menentukan angka
rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank (demand
deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila bank sentral
menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yang sama, bank dapat
menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.
3.
Penentuan
Discount Rate. Bank sentral merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau
komersial dan sebagai sumber dana yang terakhir (the last lender resort). Bank
komersial dapat meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di
bawah tingkat suku bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas.
Discount rate yang bank sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial
mempengaruhi tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam
dari bank sentral. Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga
pinjaman, maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk meminjam dari
bank sentral.
4.
Moral
Suasion atau Kebijakan Bank Sentral yang bersifat persuasif berupa
himbauan/bujukan moral yang memengaruhi tindak-tanduk para
bankir dan manajer senior institusi-institusi finansial dalam kegiatan
operasional keseharian bisnisnya, agar searah dengan kepentingan
publik/pemerintah.
C.
Aplikasi Instrumen Moneter
Konvensional di Indonesia
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral
di Indonesia, seperti juga bank sentral lainnya di dunia, mempunyai beberapa
instrumen moneter yang antara lainnya sebagai berikut:
1.
OMO melalui jual-neli sertifikat
Bank Indonesia (SBI) di pasar uang.
2.
RR yang ditentukan oleh bank
Indonesia.
3.
Ratio Kecukupan Modal atau Capital
Adequancy Ratio (CAR) yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI).
4.
Plafon kredit untuk sektor-sektor
perioritas tertentu seperti sektor usaha kecil dan menengah di daerah pedesaan.[6]
D.
Instrumen-instrumen
Kebijakan Moneter Islam
Instrumen-instrumen
kebijakan moneter islam terdapat dalam tiga mazhab, yaitu:
a. Mazhab Iqthisoduna (Baqir Ash Shadr)
- Pada masa awal Islam, tidak diperlukan kebijakan moneter karena hampir tidak adanya sistem perbankan dan minimnya penggunaan uang.
- Uang dipertukarkan dengan sesuatu yang benar-benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
- Perputaran uang dalam periode tertentu sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi pada rentang waktu yang sama.
b. Mazhab Mainstream (Dr. Umer Chapra)
Bertujuan
untuk memaksimalkan sumber daya yang ada agar dapat dialokasikan pada kegiatan
perekonomian yang produktif.
Melalui
instrumen “dues of idle fund” yang dapat mempengaruhi besar kecilnya permintaan
uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas perekonomian secara
keseluruhan.
c. Mazhab Alternatif/Analitis Kritis (Dr. M.A. Choudury)
Kebijakan moneter melalui “syuratiq process”, dimana
suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas
moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil.
Sehingga terjadi harmonisasi antara kebijakan moneter dan sektor riil. [7]
Secara mendasar,
terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain
:
1.
Reserve Ratio
Adalah suatu presentase
tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5
%. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR
misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada
komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
2.
Moral Suassion
Bank sentral dapat
membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab
mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit
dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
3.
Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam,
tidak ada istilah Lending ( meminjamkan ), lending ratio dalam hal ini berarti
Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
4.
Refinance Ratio
Adalah sejumlah
proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio meningkat,
pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio turun, bank
komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan
pinjaman.
5.
Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan
(profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank
sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter,
dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio
keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
6.
Islamic Sukuk
Adalah obligasi
pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk
lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang
beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau
menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment Certificate
Penjualan atau
pembelian sertipikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai
Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh
bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga
meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam Islam, maka
sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan system bebas bunga, yang
disebut GIC: Government Instrument Certificate. Kapan
pun bank sentral ingin menurunkan jumlah uang beredar, sertifikat tersebut akan
dijual kepada bank komersial, begitu sebaliknya, ketika bank sentral membeli
sertifikat tersebut berarti bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang
beredar.[8]
E.
Aplikasi Instrumen Moneter
Islam di Indonesia
Bank yang berdasarkan syariah
Islam, BI menjalankan fungsinya bank sentral dengan instrumen-instrumen sebagai
berikut.
- Giro Wajib Minimum (GWM): biasa dinamakan juga statutory reserve requirement, adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan Persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan (Prudential Banking) serta berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.
Besaran GWM adalah 5% dari
dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga
yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian
dalam satu masa laporan untuk periode masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana
pihak ketiga yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.
Giro Wadiah;
2.
Tabungan Mudharabah;
3.
Deposito Investasi Mudharabah; dan
4.
Kewajiban lainnya.
Dana Pihak Ketiga dalam IDR
tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan BPR.
Sedangkan Dana Pihak Ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban kepada
pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri atas :
1.
Giro Wadiah;
2.
Deposito Investasi Mudharabah; dan
3.
Kewajiban lainnya.
BI mengenakan denda terhadap
kesalahan dan keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk
menentukan GWM. Bank yang melakukan pelanggaran juga terkena sanksi.
- Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah (Sertifikat IMA): yaitu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak digunakan sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami kekurangan dana.
Sertifikat ini berjangka waktu
90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan
standar yang ditetapkan oleh BI. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat
dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua
tidak diperkenankan memindahtangankannya kepada pihak lain sampai berakhirnya
jangka waktu. Pembayaran dilakukan oleh bank syariah penerbit sebesar nilai
nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya
dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer
elektronik).
3.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI): yaitu instrumen Bank Indonesia sesuai dengan syariah Islam. SWBI juga
dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan liquiditas sebagai sarana
penitipan dana jangka pendek.
Dalam operasionalnya, SWBI mempunyai
nilai nominal minimum Rp 500 juta dengan jangka waktu dinyatakan dalam hari
(misalnya: 7 hari, 14 hari, 30 hari).pembayaran atau pelunasan SWBI dilakukan melalui
debet/kredit rekening giro di Bank Indonesia. Jika jatuh tempo, dana akan
dikembalikan bersama bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat
IMA.[9]
BAB III
PENUTUP
Perbedaan utama
kebijakan moneter konvensional dan Islam adalah Islam tidak mengakui adanya
instrumen suku bunga karena jelas dalam Alqur’an riba itu sangat dilarang atau
haram. Hikmah pelarangan riba agar terjadi hubungan partnership antara pemilik
modal dan usaha secara adil.
Sejumlah instrument
kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam seperti
Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and
change in monetary base, equity based type of securities masih dapat digunakan
untuk mengontrol uang dan kredit, sepanjang sesuai dengan prinsip transaksi
syariah antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun
Al-Ijarah
Kebijakan moneter yang
dikelola dengan baik akan menghasilkan tingkat perekonomian yang stabil melalui
mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek
pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara.
Daftar Pustaka
Adiwarman A. Karim,
Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Prathama Rahardja,
Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi),
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas, 2008.
Sritua Arief, Teori
EkonomiMikro dan Makro Lanjutan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
[1] Prathama Rahardja, Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi
(Mikroekonomi dan Makroekonomi), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas, 2008), hlm.435.
[4] Sritua Arief, Teori EkonomiMikro dan
Makro Lanjutan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 265.
[6] Adiwarman A. Karim, Op-Cit, hlm. 224.
[7] Ibid., hlm. 225-229.
[9] Adiwarman A. Karim, Op-Cit, hlm. 233-234.