Translate

Selasa, 06 November 2012

Kaidah Pertama (الأمور بمقاصدها)

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia islam banyak sekali hukum-hukum mengenai khidupan kita sehari-hari. Dimana dalam hukum itu terdapat suatu kaidah baik mengenai fiqih maupun dasr hukum. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa dalam kaidah tersebut terdapat kaidah fiqh, yaitu yang membahas tentang aturan.
Dalam pembahasan kaidah fiqih ini terdapat lima kaidah pokok, diantara kelima kaidah tersebut, pemakalah akan membahas salah satu dari kelima kaidah yaitu kaidah pertama yang membahas tentang niat. Yang lebih lengkap akan dibahas pada BAB II makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyyah
Dalam pengertian ini ada dua pengertian yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah.
Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I dalam bukunya ushul fiqih islami menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'I yang banyak".[1]
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata al-fiqh yang diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan mekna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT
ليتفقهوا فى الدين
"untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama"(QS. at-Taubah: 122).
Dan berdasarkan sabda Nabi SAW
من يرد الله به خيرا يفقهه فى الدين
"barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama".(HR. Bukhari/ Muslim)
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti :
1. menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
"ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".
2. menurut ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar:
الفقه معرفة احكام الله تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والندب والكراهة والاباحة وهي متلقاة من الكتاب والسنة وما نصبه الشارع لمعرفتهامن الأدلة فإذااستخرجت الأحكام قيل لها فقه.
"Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng dinamakan fiqh".
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaidul fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam tajjudin as-Subki:
الأمر الكلى الذى ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".
B.     Kaidah Pokok
Terdapat lima kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih dikembalikan kepadanya ialah :
1.      الامور بمقاصدها
“segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”
2.      اليقين لا يزال بالشك
“Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan”
3.      المشقة تجلب التيسر
“Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan”
4.      الضرر يزال
“kemudlorotan itu harus dihilangkan”
5.      العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum” [2]

C.    Kaidah Pertama (الأمور بمقاصدها)
Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, tidaklah memerintahkan sesuatu
kecuali yang murni mendatangkan maslahat atau maslahatnya dominan.
Dan tidaklah melarang sesuatu
kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan.
Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari’at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allâh Ta'ala maupun yang berhubungan dengan hak para hamba-Nya.[3]
Allâh Ta'ala berfirman:
http://majalahassunnah.com/images/naskah/Qs16-90.jpg
Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat,
dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

(Qs. An-Nahl/16:90)
Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allâh Ta'ala dalam ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait dengan hak-hak Allâh Ta'ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh Allâh Ta'ala. Allâh Ta'ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan perintah-perintah-Nya, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allâh Ta'ala juga mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Nya, lalu menjauhinya.
Hukum-hukum syarak atau yang biasa disebut fiqih, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada lima kaidah pokok dalam kaidah pertama, yaitu:
a. Dasar Kaidah.
Kaidah ini bersumber dari hadits yang terkenal :
انّما الأعمل بالنياتSegala perbuatan itu hanyalah dengan niat”.
Menurut Ulama ahli Tahqiq, hadits ini isinya padat sekali, sehingga seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqih telah tercakup dalam hadits ini. Sebab pebuatan/amal manusia itu ada tiga macam, yakni : dengan hati, ucapan, tindakan.
 b.  Niat termasuk rukun atau syarat.
Para ulama berbeda pendapat tentang niat termasuk rukun atau syarat:
1. segolongan umat berpendapat, bahwa niat itu termasuk rukun, sebab niat sholat. Misalnya, termasuk dalam dzat sholat.
2. Ulama yang lain mengatakan, bahwa niat termasuk syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati. Jadinya niat diniati.
3. Menurut imam Al-ghozali, “diperinci”. Kalau puasa, niat termasuk rukun, dan kalau sholat, niat termasuk syarat.
4. Imam Nawawi dan Rafi’iy berpendapat sebaliknya, bagi sholat, niat termasuk rukun, sedangkan puasa, niat termasuk syarat.
c. Tempat niat.
Niat itu tidak pada ucapan, melainkan dalam hati. Meskipun demikian, karena gerakan hati, juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong gerakan hati. Apabila ada perbedaan antara ucapan dengan bunyi hati, maka yang diperhitungkan adalah bunyi hati.
Misal seorang mengucap “aku niat sholat dzuhur” dan dalam hatinya bergerak “aku niat sholat ashar” maka yang jadi ditunaikan adalah sholat ashar.
d. Waktu Niat.
Beberapa ketentuan tentang waktu niat, yakni ;
1. Niat bersamaan dengan permulaan ibadah, seperti : sholat, niatnya bersamaan dengan takbirotul ihram.
2. Jika permulaan ibadah berupa dzikir, maka niat bersamaan dengan lengkapnya dzikir, musal : sholat, permulaan sholat adalah takbir ( (الله اكبرjadi niatnya harus bersama dengan lengkapnya bacaan tersebut, dan tidak cukup hanya bersamaan dengan الله atau dengan اكبر saja.
3. Jika ibadah berupa perbuatan (الأفعال) maka niatnya cukup bersamaan dengan permulaan ibadah itu. Missal, wudhu, niatnya cukup dilakukan pada permulaan wudlu.
e. Syarat syah niat.
Syarat syahnya niat, yaitu;
1. Islam
2. Tamyiz
3. Menyakini apa yang diniati.
4. Tidak ada munafi, yakni hal-hal yang membatalkan niat.
5. Diperkirakan dapat melaksanakan apa yang diniati.
f. Maksud Niat
Maksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadah, yakni :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan perbuatn biasa, misal : antara mandi biasa yang setiap hari kita lakukan setiap hari, dengan mandi junub. Yamg membedakannya adalah niat.
2. Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. Niat sajalah yang mebedakan antara mandi untuk menghindari jum’atan dengan mandi karena akan ihram.
g. Uraian Kaidah.
1. “Niat itu mengkhususkan kalimat yang umum, tetapi sebaliknya tidak dapat membuat umum kalimat yang khusus”.
Misal, ada orang bersumpah : “Demi Allah saya tidak berbicara dengan seseorang”, lalu ia ditanya :”siapa yang kau maksud dengan seseorang itu”. Kalau ia menjawab : “yang saya maksud dalam niat saya adalah si Fulan”, maka menurut hokum, ia bisa dibenarkan, sehingga jika ia berbicara dengan selain Fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah.
2. “Lafad itu tergantung atas niat oaring yang melafalnya”.
Misal, orang keadaan junub mengucap : انّالله وانّاإليه راجعون kalau dalam mengucapkan itu niat berdzikir karena datangnya musibah, huumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan membaca Al-qur’an hukumnya haram.
3. “Amalan fardlu itu, kadang dapat berhasil dengan niat sunah”.
Misal, seseorang dapat melakukan tasyahud akhir. Semula ia mempunyai sangkaan, bahwa yang dilakukannya adalah tasyahud awal, lalu pada akhirnya ia ingat, bahwa yang ia kerjakan adalah tasyahud akhir maka tasyahudnya tetap syah.
· “Suatu ibadah sama persis dengan ibadah yang lain, maka didalam niatnya disyaratkan ta’yin (menentukan)”.
· “Bagi ibadah fardlu, dimana kefardluannya harus dicantumkan dalam niat, maka Ta’yin harus juga dicantumkan”.
· “Suatu amal yang tidak disyaratkan ta’yin, tetapi ta’yin itu dicantumkan dan kemudian terjadi kekeliruan, maka amal itu menjadi batal.[4]
D.    Contoh Penerapan Kaidah Pertama
Kaedah ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i, namun cukuplah sebagai sebuah gambaran, saya sebutkan beberapa contoh penerapannya, yaitu :
  1. Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
  2. Barang siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosib (orang yang mengambil harta orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda), maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia merusaknya. (Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124)
  3. Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Alloh, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah. (Lihat Bahjah Qulubil Abror hal : 14)
  4. Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal
  5. Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah dia pakai  itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
  6. Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.[5]

 
BAB III
PENUTUP

Qawaidul fiqhiyah adalah "Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". Atau dengan kata lain: "hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya".
Terdapat lima kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih dikembalikan kepadanya ialah :
1.      الامور بمقاصدها
2.      اليقين لا يزال بالشك
3.      المشقة تجلب التيسر
4.      الضرر يزال
5.      العادة محكمة
Kaidah Pertama : الأمر بمقا صدها “Segala sesuatu tergantung pada niatnya”.


a. Dasar Kaidah.
b. Niat termasuk rukun atau syarat.
c. Tempat niat.
d. Waktu Niat.
e. Syarat syah niat.
f. Maksud Niat
g. Uraian Kaidah.






[1] Imam Musbikin dan Aziz Mushoffa, Qawaidul Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 2.
[2] Nashr Farid muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm. 13.
[3] Imam Musbikin, Op-Cit., hlm 10.
[4] http://media.kompasiana.com/buku/2011/08/27/kaidah-fiqih-bag-i/
[5] http://lentara-ilmu.blogspot.com/2011/11/qawaid-fiqhiyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar