BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia islam banyak sekali
hukum-hukum mengenai khidupan kita sehari-hari. Dimana dalam hukum itu terdapat
suatu kaidah baik mengenai fiqih maupun dasr hukum. Sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa dalam kaidah tersebut terdapat kaidah fiqh, yaitu yang membahas
tentang aturan.
Dalam pembahasan kaidah fiqih ini
terdapat lima
kaidah pokok, diantara kelima kaidah tersebut, pemakalah akan membahas salah
satu dari kelima kaidah yaitu kaidah pertama yang membahas tentang niat. Yang
lebih lengkap akan dibahas pada BAB II makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyyah
Dalam
pengertian ini ada dua pengertian yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu,
yaitu qawaid dan fiqhiyah.
Kata
qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia
dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I dalam bukunya
ushul fiqih islami menyatakan bahwa kaidah adalah:
القضايا
الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة
"Hukum
yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'I
yang banyak".[1]
Sedangkan
arti fiqhiyah diambil dari kata al-fiqh yang diberi tambahan ya' nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih
lebih dekat dengan mekna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para
sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT
ليتفقهوا فى الدين
"untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama"(QS. at-Taubah: 122).
Dan berdasarkan sabda Nabi
SAW
من
يرد الله به خيرا يفقهه فى الدين
"barangsiapa
yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam
agama".(HR. Bukhari/ Muslim)
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti :
1. menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها
التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
"ilmu
yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari
dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan
analisa dan perenungan".
2. menurut ibnu khaldun dalam
muqaddimah al-mubtada wal khabar:
الفقه معرفة احكام الله تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والندب
والكراهة والاباحة وهي متلقاة من الكتاب والسنة وما نصبه الشارع لمعرفتهامن الأدلة
فإذااستخرجت الأحكام قيل لها فقه.
"Ilmu
yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari
dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum
dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng dinamakan
fiqh".
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid
maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaidul fiqhiyah adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Imam tajjudin as-Subki:
الأمر
الكلى الذى ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
"Suatu
perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu".
B. Kaidah Pokok
Terdapat lima
kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih dikembalikan
kepadanya ialah :
1. الامور بمقاصدها
“segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”
2. اليقين لا يزال بالشك
“Yang
sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan”
3. المشقة تجلب التيسر
“Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan”
4. الضرر يزال
“kemudlorotan
itu harus dihilangkan”
5. العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum” [2]
C. Kaidah Pertama (الأمور بمقاصدها)
Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya, tidaklah memerintahkan sesuatu
kecuali yang murni mendatangkan maslahat atau maslahatnya dominan.
Dan tidaklah melarang sesuatu
kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan.
kecuali yang murni mendatangkan maslahat atau maslahatnya dominan.
Dan tidaklah melarang sesuatu
kecuali perkara yang benar-benar rusak atau kerusakannya dominan.
Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun
hukum syari’at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok
maupun cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allâh Ta'ala maupun
yang berhubungan dengan hak para hamba-Nya.[3]
Allâh Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya Allâh
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat,
dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(Qs. An-Nahl/16:90)
memberi kepada kaum kerabat,
dan Allâh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(Qs. An-Nahl/16:90)
Tidak ada
satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim yang
terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allâh Ta'ala dalam ayat
yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait
dengan hak-hak Allâh Ta'ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah
darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh
Allâh Ta'ala. Allâh Ta'ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan
perintah-perintah-Nya, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu
melaksanakannya. Allâh Ta'ala juga mengingatkan agar memperhatikan keburukan
dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Nya, lalu menjauhinya.
Hukum-hukum
syarak atau yang biasa disebut fiqih, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada
lima kaidah pokok dalam kaidah pertama, yaitu:
a. Dasar Kaidah.
Kaidah ini bersumber dari hadits yang terkenal :
انّما الأعمل بالنيات “Segala perbuatan itu hanyalah dengan niat”.
Menurut Ulama ahli Tahqiq, hadits ini isinya padat sekali, sehingga
seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqih telah tercakup
dalam hadits ini. Sebab pebuatan/amal manusia itu ada tiga macam, yakni :
dengan hati, ucapan, tindakan.
b. Niat termasuk rukun atau syarat.
Para ulama berbeda pendapat tentang niat termasuk
rukun atau syarat:
1. segolongan umat berpendapat, bahwa niat itu
termasuk rukun, sebab niat sholat. Misalnya, termasuk dalam dzat sholat.
2. Ulama yang lain mengatakan, bahwa niat termasuk
syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati. Jadinya niat
diniati.
3. Menurut imam Al-ghozali, “diperinci”. Kalau puasa,
niat termasuk rukun, dan kalau sholat, niat termasuk syarat.
4. Imam Nawawi dan Rafi’iy berpendapat sebaliknya,
bagi sholat, niat termasuk rukun, sedangkan puasa, niat termasuk syarat.
c. Tempat niat.
Niat itu tidak pada ucapan, melainkan
dalam hati. Meskipun demikian, karena gerakan hati, juga sebaiknya dikukuhkan
dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong gerakan hati. Apabila ada perbedaan
antara ucapan dengan bunyi hati, maka yang diperhitungkan adalah bunyi hati.
Misal seorang mengucap “aku niat sholat dzuhur”
dan dalam hatinya bergerak “aku niat sholat ashar” maka yang jadi ditunaikan
adalah sholat ashar.
d. Waktu Niat.
Beberapa ketentuan tentang waktu niat, yakni ;
1. Niat bersamaan dengan permulaan ibadah, seperti :
sholat, niatnya bersamaan dengan takbirotul ihram.
2. Jika permulaan ibadah berupa dzikir, maka niat
bersamaan dengan lengkapnya dzikir, musal : sholat, permulaan sholat adalah
takbir ( (الله اكبرjadi niatnya harus bersama dengan
lengkapnya bacaan tersebut, dan tidak cukup hanya bersamaan dengan الله atau dengan اكبر saja.
3. Jika ibadah berupa perbuatan (الأفعال) maka niatnya cukup bersamaan dengan permulaan
ibadah itu. Missal, wudhu, niatnya cukup dilakukan pada permulaan wudlu.
e. Syarat syah niat.
Syarat syahnya niat, yaitu;
1. Islam
2. Tamyiz
3. Menyakini apa yang diniati.
4. Tidak ada munafi, yakni hal-hal yang membatalkan
niat.
5. Diperkirakan dapat melaksanakan apa yang diniati.
f. Maksud Niat
Maksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap
ibadah, yakni :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan perbuatn biasa,
misal : antara mandi biasa yang setiap hari kita lakukan setiap hari, dengan
mandi junub. Yamg membedakannya adalah niat.
2. Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan
ibadah yang lain. Niat sajalah yang mebedakan antara mandi untuk menghindari
jum’atan dengan mandi karena akan ihram.
g. Uraian Kaidah.
1. “Niat itu mengkhususkan kalimat yang umum, tetapi
sebaliknya tidak dapat membuat umum kalimat yang khusus”.
Misal, ada orang bersumpah : “Demi Allah saya
tidak berbicara dengan seseorang”, lalu ia ditanya :”siapa yang kau maksud
dengan seseorang itu”. Kalau ia menjawab : “yang saya maksud dalam niat saya
adalah si Fulan”, maka menurut hokum, ia bisa dibenarkan, sehingga jika ia
berbicara dengan selain Fulan, ia tidak dianggap melanggar sumpah.
2. “Lafad itu tergantung atas niat oaring yang
melafalnya”.
Misal, orang keadaan junub mengucap : انّالله وانّاإليه راجعون kalau dalam mengucapkan itu niat berdzikir karena
datangnya musibah, huumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan
membaca Al-qur’an hukumnya haram.
3. “Amalan fardlu itu, kadang dapat berhasil dengan
niat sunah”.
Misal, seseorang dapat melakukan tasyahud akhir.
Semula ia mempunyai sangkaan, bahwa yang dilakukannya adalah tasyahud awal,
lalu pada akhirnya ia ingat, bahwa yang ia kerjakan adalah tasyahud akhir maka
tasyahudnya tetap syah.
· “Suatu ibadah sama persis dengan ibadah yang lain, maka didalam niatnya
disyaratkan ta’yin (menentukan)”.
· “Bagi ibadah fardlu, dimana kefardluannya harus dicantumkan dalam niat,
maka Ta’yin harus juga dicantumkan”.
· “Suatu amal yang tidak disyaratkan ta’yin, tetapi ta’yin itu dicantumkan
dan kemudian terjadi kekeliruan, maka amal itu menjadi batal.[4]
D. Contoh Penerapan Kaidah Pertama
Kaedah ini mencakup semua permasalahan
hukum syar’i, namun cukuplah sebagai sebuah gambaran, saya sebutkan beberapa
contoh penerapannya, yaitu :
- Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
- Barang siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosib (orang yang mengambil harta orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda), maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia merusaknya. (Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124)
- Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Alloh, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah. (Lihat Bahjah Qulubil Abror hal : 14)
- Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal
- Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah dia pakai itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
- Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.[5]
BAB III
PENUTUP
Qawaidul
fiqhiyah adalah "Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang
yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". Atau
dengan kata lain: "hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang di
bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam
pensyariatannya".
Terdapat
lima kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih
dikembalikan kepadanya ialah :
1.
الامور بمقاصدها
2.
اليقين لا يزال بالشك
3.
المشقة تجلب التيسر
4.
الضرر يزال
5.
العادة محكمة
Kaidah
Pertama : الأمر بمقا صدها “Segala sesuatu tergantung pada niatnya”.
a.
Dasar Kaidah.
b. Niat termasuk rukun atau syarat.
c. Tempat niat.
d. Waktu Niat.
e. Syarat syah niat.
f. Maksud Niat
g. Uraian Kaidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar