Translate

Selasa, 25 Desember 2012

BA'I INAH, DAYN, TAWARRUQ


BAB I
PENDAHULUAN

Seiring berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan syariah pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan pendukung Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Dalam makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq dan Bai’ Al-Dayn. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bai’ Inah
Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh (deferred payment sale / BBA).[1]
 Bai’ al-inah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut  : seorang pedagang menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti menjual barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang berbeda, dengan harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.
Definisi bai` inah menurut para ulama adalah seperti berikut:
1.      Imam Syafi'i: "Membeli sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah barang tersebut diterima olehnya (Qabdh), barang tersebut dijual kembali kepada pemilik asal atau ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara hutang atau dengan penukaran barang. "
2.      Al-Haskafi: "Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak yang berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan utangnya."
3.      Al-Zaila `i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah secara tunai. "
4.      Al-Dardir: "Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang tidak dalam pemilikannya."
5.      Al-Rafi `i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "
6.      Ibnu Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah." [2]
B.     Landasan Hukum
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjual beli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335 no:3445).

C.    Aplikasi Bai’ Inah
Misalkan: si A membutuhkan dana cash sebesar Rp 10 juta untuk biaya operasional bisnisnya. Ia kemudian mendatangi bank syariah dimana pihak bank setuju untuk menjual asset kepada si A senilai Rp 10 juta dengan sistem pembayaran cicilan (installment payment). Setelah itu, segera si A membuat perjanjian baru dengan bank syariah untuk menjual assetnya kembali kepada pihak bank secara tunai seharga Rp 8 juta. Dalam hal ini, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan : si A memperoleh ‘pinjaman’ Rp 10 juta dan bank mendapatkan keuntungan Rp 10 juta – Rp 8 juta = Rp 2 juta.
Contoh aplikasinya yang lain adalah sebagai berikut:
Hasan membutuhkan uang kas sebanyak Rp 20 juta untuk membiayai kegiatan operasional usahanya. Hasan kemudian meminta bantuan kepada pihak bank syariah. Kemudian bank syariah tersebut akan menjual aset seharga Rp 25 juta pada Hasan dengan pembayaran yang ditangguhkan (installment basis). Setelah itu, Hasan segera membuat perjanjian dengan bank untuk menjual kembali aset tersebut pada pihak bank secara tunai seharga Rp 20 juta (sesuai dengan kebutuhan kegiatan operasional). Dalam hal ini kedua-duanya sama-sama diuntungkan; Hasan memperoleh pinjaman sebanyak Rp 20 juta dan bank mendapatkan keuntungan sebesar Rp5 juta (Rp 25 juta-Rp 20 juta).
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa dua pihak yang terlibat transaksi tersebut tidak menggunakan kontrak penjualan (sales contract) sebagaimana mestinya. Dengan tidak adanya niat untuk menggunakan aset, maka bisa diartikan bahwa mereka melanggar salah satu prinsip kontrak dalam Islam, yaitu tujuan kontrak (maudu'ul aqdi).
 
D.    Perbedaan Pendapat diantara Para Ulama
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.
Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. 
Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah menukar dirham dengan dirham yang lain yang diantara keduanya ada  sutra.” Maliki dan Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya adalah Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’ al-inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus.”
Dalam mencermati masalah bai’ al-inah ini, menarik untuk dicermati adalah
pendapat Ibnu Taimiyah tentang penjualan (sales). Ibnu Taimiyah membagi penjualan menjadi 3 (tiga) kelompok : Pertama, seseorang membeli barang dengan tujuan untuk dikonsumsi. Tentu saja dalam hal ini hukum Islam membolehkannya. Kedua, seseorang membeli barang dalam rangka untuk dijual kembali. Dalam hal ini pun Islam tidak melarangnya. Ketiga, seseorang membeli barang bukan untuk tujuan seperti kelompok pertama dan kedua, namun untuk mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit, ia harus membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dan segera setelah itu dijual kembali kepada pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas.[3] 
 
E.     Syarat-syarat Bai’ Inah
  1. Pembiayaan bay‘ al-‘inah perlu mempunyai dua kontrak yang jelas yaitu kontrak penjualan harta oleh penjual/pemilik kepada pembeli dan dan penjualan semula harta tersebut kepada pemilik asal.
  2. Pembayaran harga dalam salah satu urusniaga atau kontrak harus dilakukan secara tunai untuk mengelakkan penjualan/pembelian hutang dengan hutang.
  3. Barang yang digunakan dalam urusniaga jual dan beli kembali bukan barangan ribawi.
  4. Kedua-dua urusniaga ini harus melibatkan penyerahan hakmilik yang sah dari sudut syarak dan diterima pakai berdasarkan adat perniagaan semasa (‘uruf tijari).
  5. Pembiayaan bay‘ al-‘inah yang dijalankan ini harus memenuhi syarat-syarat bay‘ al-‘inah yang diterima oleh Mazhab Syafie.
  6. Penentuan harga dan harta yang terlibat dalam kontrak juga harus  dengan sebenar dan berdasarkan harga yang munasabah atau berdasarkan pasaran.
  7. Kontrak pertama harus diselesaikan terlebih dahulu (ditandatangani oleh kedua-dua belah pihak) sebelum memasuki kontrak yang kedua. Ini bertujuan mengelakkan isu penjualan harta yang belum dimiliki dalam kontrak kedua.[4]

F.     Pengertian Bai’ Tawarruq
Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg apembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[5]
Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” yang artinya : simbol atau karakter dari  perak (silver).  Kata tawarruq ini di gunakan untuk mengartikan,  mencari perak, sama dengan kata Ta allum, yang arti nya mencari ilmu, yaitu belajar atau sekolah. Kata Tawarruq dapat di arti kan dengan lebih luas yaitu  mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lain nya.  Secara literatur arti nya adalah berbagai cara yang di tempuh untuk mendapat kan uang tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini di perkenal kan oleh Mazhab Hanbali. Mazhab Shafi’i mengenal tawarruq dengan sebutan “zarnagah”, yang arti nya bertambah atau berkembang.[6]
Dalam Hukum Islam, tawarruq arti nya adalah struktur yang dapat di lakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuh kan likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari  tawarruq:
1.      Seseorang yang membutuhkan likuditas (uang tunai) membeli produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di atas.
2.      Seseorang (mutawarriq)yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barang nya dengan cara kredit dengan harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi.
Kedua formasi transaksi tawarruq ini dapat di terima dan di Izin kan oleh para Ulama tanpa ada nya perdebatan.
3.      Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barang nya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Formasi ini masih di perdebat kan oleh para pakar Hukum ekonomi syariah.
G.    Perbedaan Tawarruq dengan Inah
Perbedaan antara Tawarruq dan Inah adalah, pada atransaksi bay’ al-inah,  seseorang yang membutuh kan dana membeli barang dengan cara kredit, lalu menjual nya kembali kepada si penjual/pemilik barang dalam bentuk tunai, yang harga nya lebih rendah dari harga kredit nya. Akar kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat menemukan jalan nya kembali kepada pemilik asal nya. Menurut kebanyakan dari para pakar Hukum Islam,  Barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba.
Tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuh kan dana segar/uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjual nya kepada pihak ke 3 dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah, struktur transaksi nya tidak meng indikasi kan hilah (melegal kan cara  untuk mendapat kan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asal nya. Dengan demikian para pakar Hukum Islam,  berpendapat bahwa Tawarruq adalah tersaksi yang sah  dan dapat di terima.

H.    Pendapat Para Ulama Mengenai Tawarruq
Para Ulama yang merestui transaksi Tawarruq ini mempunyai dalil  dari ayat ayat Al-Qur’an yang di unversal kan dan mereka berpendapat bahwa semua transaksi jual beli itu halal (di perboleh kan), kecuali ada bukti yang kuat untuk melarang nya. Secara universal memang transaksi al-bay adalah halal/legal. Tawarruq adalah salah satu transaksi al-bay yang termasuk dalam universal dari semua transaksi al –bay dan di anggap legal/halal walaupun tidak ada satu ayat dari Al-qur’an dan satu kutipan Hadist, serta tidak ada satu pun tindakan  dari sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyatakan Tawarruq tidak halal/di larang.
Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah mendukung transaksi ini. Ketika salah satu petani kurma dari Khaybar datang dan membawa kan Kualitas Kurma yang tebaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutu nya. Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran  (kg) kualitas kurma yang rendah untuk satu ukuran (kg)yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran(kg) yang kulitas rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitas nya bagus.  Lalu Nabi Muhammad melarang petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua kualitas rendah nya agar mendapat kan uang tunai (berupa koin perak pada jaman itu) dan lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. Hadist ini mengindikasikan di perkenankan nya suatu metode untuk meng hindari Riba. Semua media  jual beli dan syarat syarat  serta kondisi dari transaksi  jual beli sudah terpenuhi, bebas dari faktor faktor yang di larang. Niat untuk mendapat kan kualitas Kurma yang lebih bagus tidak membatal kan struktur nya. Dengan demikian, hal ini menunjukan legalitas dari transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat di terima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk mendapat kan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharus nya di perkenan kan apabila  memang di perlukan.
Para Ulama dari Mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah, adalah salah satu  yang menentang tawarruq,  dan beliau mengatakan bahwa tawarruq tidak jauh berbeda dengan inah yang  hanya bertujuan untuk mendapatkan dana segar/likuditas.  Pemilik modal (penyandand dana) menjual aset nya kepada  seseorang, bukan memberi nya uang, untuk mendapat kan ke untungan lebih nanti nya, ketika  (pihak kedua) orang tersebut menjual aset itu kembali kepada penjual nya (pihak pertama), itu adalah inah,  kalau di jual kepada orang lain (pihak ke tiga) itu  adalah  tawarruq. Aset yang di pindah kan ke pihak ke tiga, sebagai perantara, pihak ketiga yang menjual nya kembali pada pihak pertama,  pihak ketiga menjadi muhallil, yaitu seseorang yang me legalitas kan riba untuk pihak pertama. Ibn Qayim, murid nya Ibn Taymiyyah menolak untuk mengizin kan praktek dari tawarruq, karena indikasi  untuk mendapat kan riba ada dalam transaksi tawarruq. Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa sangat tidak mungkin untuk Syariah melegal kan kerusakan yang besar sementara melarang kerusakan yang lebih  kecil, yaitu riba. Beliau mengutip statement yang di berikan oleh Umar ibn Abdul Aziz : tawarruq adalah saudara nya riba.



I.       Pengertian Bai’ Al-Dayn (Jual Beli Hutang)
Bai’ al-Dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Dayn dapat diperjual belikan dengan harga yang sama, tetapi sebahagian besar ulama Fuqaha berpendapat bahwa jual beli dayn atau hutang dengan diskon tidak dibolehkan secara syariah.[7]
Menurut takrifan ulama ialah; suatu tanggungan harta (hutang) yang ditanggung oleh seseorang terhadap orang lain samada ia adalah hasil daripada suatu akad (kontrak) atau disebabkan oleh kerosakan (gantirugi) atau kerana pinjaman ( qardh ).
Dayn, menurut perundangan Islam, mencakupi ruang lingkup yang luas; iaitu bayaran kepada harga barangan, bayaran kepada qardh (hutang), bayaran mahr (mas kahwin) selepas isteri disetubuhi atau sebelumnya; yakni mahar yang belum dibayar selepas akad nikah, bayaran ke atas sewa, ganti rugi yang mesti dibayar kerana jenayah ( arsy ), ganti rugi ke atas kerosakan yang dilakukan, jumlah wang yang mesti dibayar kerana tebus talak ( khulu' ) dan barangan pesanan yang belum sampai ( muslam fih ).[8]
Bai’ al-dayn atau bai’ nasiah bi nasiah atau Nabi SAW sering menyebutnya bai’ kaly bi kaly adalah menjual hutang dengan hutang, membeli barang dengan hutang dan uangnya juga hasil hutang . Bai’ al-dayn adalah akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat hutang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik .
Bai’ al-dayn merujuk kepada pembiayaan hutang. Di dalam prinsip ini pembiayaan dibuat berdasarkan jual beli dokumen perdagangan dan pembiayaan digunakan bagi tujuan pengeluaran, perdagangan. Keputusan DPS pada awal operasinya bank syariah berdasarkan keadaan darurat dimana bank syariah masih sebagai pemain tunggal, baik syariah diijinkan dengan memanfaatkan excess (kelebihan) atau idle fund dengan menggunakan perangkat al-dayn.
Ketentuan-ketentuan al-dayn adalah:
1.      Nasabah yang telah menerima fasilitas jual beli dari bank syariah akan mengeluarkan surat hutang (promissory note), sementara bank syariah sendiri tidak dapat menerbitkan surat hutang, maka promissory note (surat hhutang) di endorse dan menjadi underlying transaction untuk menerima dari bank konvensional.
2.      Adapun kompensasi dalam penempatan dana (placing) dan penerimaan dana (talking) masih mengacu pada hitungan yang ditetapkan oleh pihak countetpart (bank konvensional), dimana bank syariah(pada waktu itu) harus mengoptimalkan kelebihan dananya dan masuk sebagai pandatang baru dengan sistem yang belum dikenal oleh bank konvensional.
3.       
J.      Bentuk-bentuk Al-Dayn
1.      Menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Diantaranya adalah menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguran. Itu adalah bentuk yang disebut silakan tangguhkan pembayaran hhutangmu, tapi tambah jumlahnya. Itu merupakan bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
2.      Menjual harga yang ditangguhkan dengan barang dagangan tertentu yang juga diserahterimakan secara tertunda.
Bentuk aplikasinya adalah bila seorang menjual pihutangnya kepada orang yang punya hutang dengan barang dagangan tertentu (mobil misalnya) yang akan diterimanya secara tertunda.
3.      Menjual harga yang ditangguhkan dengan barang yang digambarkan kriterianya dan diterima secara tertunda.
Bentuk aplikasinya adalah seorang memiliki pihutang atas seorang secara tertunda, lalu ia membeli dari dari orang yang dihhutanginya barang yang digambarkan kriterianya (beras misalnya) dan diterima secara tertunda pula. Ini termasuk jual beli salam. Tapi, kalau orang yang berhhutangnya tidak mau menyegerakan pembayaran hutangnya yang menjadi tanggungannya dan dijadikan sebagai pembayaran as-salam, maka bentuk aplikasi jual beli ini tidak sah, karena salah satu jual beli as-salam tidak terpenuhi, yaitu penyegeraan pembayaran modl barang.
4.      Menjual barang yang disebutkan kriterianya secara tertunda dengan barang yang disebutkan kriterianya secara tertunda pula.
Bentuk aplikasinya adalah seorang menjual sejumlah mobil yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda dengan sejumlah freezer yang digambarkan kriterianya dan diserahkan secara tertunda pula. Bentuk aplikasi jual beli ini ada dua kemungkinan, yaitu:
a.       Dilaksanakan transaksinya seperti jual beli as-salam. Bila demikian, maka tidak boleh, karena salah satu dari jual beli as-salam tidak terpenuhi, yakni pembayaran uang dimuka.
b.      Dilakukan akad dengan bentuk seprti kontrak, dalam hal ini tampaknya tidak ada masalah bagi mereka yang berpendapat bahwa kontrak adalah bentuk akad jual beli tersendiri, tidak ada persyaratan harus ada panjar dilokasi transaksi.

K.    Bentuk dan Aplikasi Dalam Perbankan
Jual hutang umumnya terbahagi kepada dua jenis iaitu jual hutang dengan tunai (semerta) dan jual hutang dengan hutang. Kedua-dua jenis jual hutang tersebut samada dijual kepada orang yang berhutang atau pihak ketiga.[9]
1.      Contoh jual hutang dengan tunai;
a)      Contoh jual hutang dengan tunai kepada penghutang
Contohnya ialah si pemiutang menjual hutangnya (yang ditanggung oleh penghutang) kepada penghutang dengan harga sekian tunai.
b)      Contoh jual hutang dengan tunai kepada pihak ketiga
Contohnya ialah seperti X berkata kepada Y, 'aku jual hutang aku yang ditanggung oleh Z kepada engkau dengan harga sekian tunai'.
2.      Contoh jual hutang dengan hutang;
Jual hutang dengan hutang juga boleh berlaku samada hutang tersebut dijual kepada penghutang atau kepada pihak ketiga.
a)      Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga
Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga ialah seperti A berkata kepada B, saya menjual 10 kilogram gandum yang menjadi tanggungan hutang C terhadapku kepada engkau dengan nilai Rp. 500 ribu yang akan dibayar oleh engkau kepadaku secara tangguh. Cara ini ulama menyifatkan sebagai "bai` al-dayn bi al-dayn" .


BAB III
PENUTUP

Bai al-inah dan bai al-dayn merupakan dua konsep Syariah yang masih diterapkan dalam perbankan Islam di Negara ini dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Kedua konsep ini dirujuk kepada pandangan mazhab Syafi'i. Kedua konsep ini telah diterimapakai sejak mula pendirian Bank Islam pertama di Indonesia sampai hari ini. Kedua konsep ini meskipun ditolak oleh ulama timur tengah, namun ulama Indonesia memiliki pendirian sendiri dalam memenuhi kebutuhan keuangan Islam pada saat itu. Kini produk yang berbasis bai al-inah masih dilakukan berdasarkan keputusan Dewan Penasihat Syariah Bank Negara Malaysia dan Dewan Penasehat Syariah Komisi Sekuritas.
Konsep al-dayn tidak digunakan oleh bank-bank Islam di Timur Tengah, oleh karena pendapat ulama setempat yang berprinsip bahwa bai’ aldayn adalah jual beli hutang yang tidak diperbolehkan. Dan menurut Ibnu Taimiyah bai’ aldayn itu tidak ada manfaatnya, karena transaksi ini hanya bisa dilakukan dalam dunia maya, dan ini akan menimbulkan keharaman.


[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 189.
[2] http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg00988.html
[3] http://ekisopini.blogspot.com/2009/11/malaysia-dan-bai-al-inah.html
[4] http://muhammadghazi.wordpress.com/2008/09/06/baiah-al-inah/
[5] Ascarya, Ibid., hlm. 143.
[6] Nibrahosen.multyply.com/journal/item/22/oktober/2012
[7] Ascarya, Ibid., hlm. 191.
[8] http://dausalhuriyah.blogspot.com/2008/12/bai-al-dayn.html,22/oktober/2012
[9] http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/12/kedudukan-mazhab-syafie-dalam-produk.html

10 komentar:

  1. gag biza lebih spesifik lagi ???

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. terimakasih atas share bab ini. referensi tentang ini susah dicari :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. admin juga bersusah payah nyari bahan ini. thx atas kunjungannya :)

      Hapus
  4. Kalau menjual barang secara tunai kemudian membeli lagi barang tersebut dengan dicicil dengan harga lebih tinggi termasuk jual yang mana ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu masuk kedalam jual beli tawarruq, karena melibatkan 3 orang dalam 1 barang.

      Hapus
  5. blog ini membantu banget, makasih ya :D

    BalasHapus