BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam dunia islam, kita juga mengenal dengan
yang namanya sewa menyewa tanah yang sudah ada sebelum Rasulullah. Dalam
praktek ini banyak sekali dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah pada zaman
dahulu, dimana yang memiliki lahan yang banyak akan digarap oleh orang lain
dengan hasil dibagi kepada pemilik lahan.
Dalam pembahasan ini, pemakalah menjelaskan
bagaimanakah sewa menyewa yang dilarang dan yang diperbolehkan oleh islam serta
hukumnya. Jadi pemakalah sangat membutuhkan kritik dan saran atas sempurnya
makalah ini kedepannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sewa Menyewa Tanah
Tentang sewa menyewa tanah telah
dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
sebagai berikut :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدٍ قَالَ كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا
عَلَى السَّوَاقِى مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا
فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ
نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ
Diriwayatkan
dari Sa’id bin Musayyib dan Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berkata : “Kami
menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa
adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian
yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri
air). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk
melakukan hal itu dan beliau memerintahkan kepada kami untuk menyewakannya
dengan emas atau perak”.[1]
Hadits
ini menjelaskan tentang mu’amalah manusia pada zaman jahiliyah dan petunjuk
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkannya dengan
menggantinya yang lebih baik. Pada masa jahiliyah jika seseorang menyewa tanah,
maka dia tidak perlu membayar uang pada waktu akan sewa, tetapi dia hanya mensyaratkan
bagian sekian persen dari hasil tanah tertentu (misalnya yang sebelah utara,
selatan, yang atas atau yang bawah, yang diseberang sungai atau yang lainnya).
Kemudian penyewa langsung menggarap tanah yang disewa sampai panen dengan
menyerahkan hasil yang sudah disepakati pada waktu akad.
Inilah
yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan diganti dengan
harga yang jelas pada waktu akad sewa, yaitu dengan uang yang pada masa itu
adalah emas dan perak. Karena mu’amalah dengan cara ini lebih jelas dan
kemungkinan untuk saling mendzalimi sangatlah kecil. Ini berbeda dengan
mu’amalah pada masa jahiliyah itu. Karena kemungkinan gharar (tipuan, ketidak
jelasan) akan sangat mungkin terjadi pada model ini. Sebab bisa saja pihak
penyewa tidak begitu memperdulikan menggarap tanah yang akan menjadi bagian
pemiliki tanah itu, atau bisa jadi tidak panen sama sekali karena adanya suatu
musibah atau hal-hal lain diluar kendali manusia.[2] Jika
demikian, sudah pasti pemilik lahan akan menjadi pihak yang terdzalimi, karena
sejak semula dia tidak mendapatkan bagian apapun, kemudian tidak ada panen
lagi. Ini sama dengan pepatah Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Sedangkan
mu’amalah yang diizinkan bahwa diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah sejak akad sewa, pemilik lahan sudah memiliki bagian
yang jelas dengan nominal tertentu, dengan mata uang yang berlaku pada saat
itu. Bisa saja seseorang mengatakan bahwa dalam model mu’amalah ini masih
mungkin ada pihak yang didzalimi, yaitu misalnya jika kemudian pihak penyewa
menggarap tanahnya, kemudian dia tidak dapat memanen tanamannya karena adanya
mibah atau gagal panen karena sebab apapun, maka dalam hal ini dia didzalimi,
karena dia tidak mendapatkan bagian sama sekali.
Perbeadan
mu’amalah model ini dan model jahiliyah yang dilarang adalah ketidakjelasan
nilai transaksi ketika terjadinya akad. Model islami jelas nilainya, sedangkan model
jahiliyah tidak jelas nominalnya. Sedangkan ketidak jelasan nasib manusia
adalah merupakan urusan ghaib yang hanya Allah saja yang menetahuinya.
Ada
hadits yang lebih tegas lagi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عن حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ. فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأْسَ بِهِ
Diriwatkan dari Handolah bin Qois Al Anshori bahwa
dia berkata : “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang sewa menyewa tanah
dengan emas dan perak. Maka dia berkata : “Tidak apa-apa. Dahulu para manusia
saling menyewakan tanah pada masa sebelum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan bendungan dan
dengan bagian tertentu dari hasil tanam, sehingga bagian di sini binasa dan di
bagian lain selamat, dan bagian ini selamat dan bagian lainnya binasa. Dan
manusia tidak melakukan sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah
hal ini dilarang. adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka
tidak apa-apa”. (HR Muslim, V/24, no. 4034).
Pada
hadits ini jelas membedakan dua model mu’amalah, antara yang diperbolehkan dan
yang dilarang. Pada haditz ini dijelaskan bahwa Handzalah bertanya kepada Rafi’
bin Khudaij, karena Rafi’ ini adalah pemilik tanah yang luas dan terbiasa untuk
melakukan sewa menyewa. Karena itulah dia yang lebih memahami permasalahan ini
daripada yang lainnya, karena dia adalah praktisi langsung dari model mu’amalah
ini. Itulah sebabnya mengapa pertanyaan ini diajukan kepada beliau, bukan
kepada Abu Hurairah misalnya, sebagai perawi hadits yang terbanyak.
Adapun
mereka yang melarang sewa menyewa adalah biasanya hanya memandang kepada
hadits-hadits berikut ini, tanpa menggabungkannya dengan hadits-hadits di atas
yang juga shahih. Misalnya hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ أَبِى نُعْمٍ حَدَّثَنِى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ أَنَّهُ زَرَعَ أَرْضًا فَمَرَّ بِهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَسْقِيهَا فَسَأَلَهُ « لِمَنِ الزَّرْعُ وَلِمَنِ الأَرْضُ ». فَقَالَ زَرْعِى بِبَذْرِى وَعَمَلِى لِىَ الشَّطْرُ وَلِبَنِى فُلاَنٍ الشَّطْرُ. فَقَالَ « أَرْبَيْتُمَا فَرُدَّ الأَرْضَ عَلَى أَهْلِهَا وَخُذْ نَفَقَتَكَ »
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’aim bahwa Rafi’ bin
Khudaij bercerita kepadanya bahwa pada waktu menggarap tanah, lewatlah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di tanahnya, sedangkan dia sedang
mengairinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya
tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah pemilik tanah. Maka dia berkata :
“Tanamanku, benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh separuh dan pemilik
lahan memperoleh separoh. Maka dia berkata : “Kalian telah melakukan riba.
Kembalikanlah tanah itu kepada pemiliknya dan ambillah upah kerjamu”. [3]
Dhahir
hadits ini melarang sewa tanah. Tetapi kalau kita memperhatikan isinya, maka
hadits ini justru mempertegas makna hadits sebelumnya.
Pertama
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sahabat yang sama, yaitu Rafi’ bin Khudaij
yang mustahil untuk meriwayatkan dua buah hadits yang saling kontradiksi.
Kedua
bahwa larangan itu adalah tertuju kepada model sewa yang lama berlaku, yaitu
penyewa tidak membayar apa-apa di muka. Dia hanya membayar sewanya dengan hasil
panen di kemudian hari. Inilah yang dikatakan sebagai riba oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
B.
Hukum Menyewakan Tanah
- Menyewakan tanah dengan bayaran uang
Masalah menyewakan tanah
dengan bayaran uang telah menjadi bahan perbincangan para ulama sejak dulu. Di
antara mereka ada dua pendapat yang berbeda:
Pertama. Thawus dan al-Hasan berpendapat bahwa
menyewakan tanah dengan bayaran uang hukumnya makruh. Dalil
mereka adalah hadits yang diriwayatkan Rafi’ bin Khadij:
” أَنَّ النَّبِيَّ e نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ “
“ Sesungguhnya Nabi melarang
menyewakan sawah “ (Muttafaq ‘alaih)
Kedua. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
menyewakan tanah dengan bayaran uang hukumnya mubah. [4]
Ibn al- Mundzir berkata:
“Telah sepakat umumnya ahli ilmu bahwa menyewakan tanah dalam waktu yang
diketahui adalah boleh dengan bayaran emas dan perak.
Imam Ibnu Quddamah berkata:
“Kami meriwayatkan pendapat ini (bolehnya menyewakan tanah dengan emas dan
perak) dari Sa’d, Rafi’ bin Khadij, Ibnu Umar, al-Harits dan Ibnu Abbas. Ini
juga adalah pendapat Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur dan ashhaab
ar-ra’y (ulama-ulama di Iraq).”[5]
- Menyewakan tanah dengan bayaran barang (bahan makanan)
Dalam hal ini ada tiga bentuk
:
a.
Dengan
bayaran bahan makanan tertentu yang bukan dari hasil tanah sewaan tersebut.
b.
Dengan
bayaran bahan makanan dari hasil tanah sewaan tersebut. Dengan ditentukan
jumlahnya, seperti 1 ton, 1 kwintal … dst.
c.
Dengan
bayaran bahan makanan dari hasil tanah sewaan tersebut, Dengan tidak ditentukan
jumlahnya, tapi nisbahnya seperti seperempat, setengah… dst.
Dalam bentuk ketiga ini ada
dua pendapat :
Pertama. Imam Ahmad dan
kebanyakan ulama madzhab Hambali menyatakan bolehnya akad seperti ini.
Kedua. Imam Hanafi, Syafi’i dan Abul Khotthob (madzhab Hambali) menyatakan bahwa
akad ini tidak sah. Dengan alasan: Adanya jahalah (ketidak jelasan) dalam
sewaan, yang mana hal ini tidak dibenarkan dalam akad ijarah.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Sewa menyewa
tanah dengan uang yang tertentu nilainya adalah boleh.
2. Sewa menyewa
tanah dengan hasil bumi di kemudian hari adalah dilarang (haram)
3. menyewa tanah
dengan mengecualikan sebagiannya, sepertiga yang sebelah sini, yang dekat
dengan irigasi mislanya adalah haram. No 2 dan 3 ini adalah mu’amalah model
jahiliyah.
4. Ibnu Umar
meninggalkan sewa menyewa tanah karena dilandasi dasar sikap wara’, bukan
karena haram. Karena beliau sendiri mengetahui bahwa mu’amalah model ini
terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
5. tidak mungkin
seorang sahabat meriwayatkan dua model hadits yang berbeda. Larangan yang ada
maknanya adalah mu’amalah dengan model no. 2 dan 3 dan kebolehan diriwayatkan
adalah model no. 1
6. penyerupaan sewa
menyewa dengan riba adalah tidak tepat, kecuali untuk model ke 2 dan ke 3.
7. larangan
terhadap model no 1 dari mu’amalah ini ditafsirkan makruh oleh sebagian ulama,
bukan haram. Tetapi jumhur menafsirkan larangan itu untuk model no 2 dan 3,
berdasarkan hadits-hadits di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar