Translate

Selasa, 25 Desember 2012

SEWA MENYEWA TANAH


BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam dunia islam, kita juga mengenal dengan yang namanya sewa menyewa tanah yang sudah ada sebelum Rasulullah. Dalam praktek ini banyak sekali dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah pada zaman dahulu, dimana yang memiliki lahan yang banyak akan digarap oleh orang lain dengan hasil dibagi kepada pemilik lahan.
Dalam pembahasan ini, pemakalah menjelaskan bagaimanakah sewa menyewa yang dilarang dan yang diperbolehkan oleh islam serta hukumnya. Jadi pemakalah sangat membutuhkan kritik dan saran atas sempurnya makalah ini kedepannya.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sewa Menyewa Tanah
Tentang sewa menyewa tanah telah dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدٍ قَالَ كُنَّا نُكْرِى الأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِى مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا
فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ
Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berkata : “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melakukan hal itu dan beliau memerintahkan kepada kami untuk menyewakannya dengan emas atau perak”.[1]
Hadits ini menjelaskan tentang mu’amalah manusia pada zaman jahiliyah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkannya dengan menggantinya yang lebih baik. Pada masa jahiliyah jika seseorang menyewa tanah, maka dia tidak perlu membayar uang pada waktu akan sewa, tetapi dia hanya mensyaratkan bagian sekian persen dari hasil tanah tertentu (misalnya yang sebelah utara, selatan, yang atas atau yang bawah, yang diseberang sungai atau yang lainnya). Kemudian penyewa langsung menggarap tanah yang disewa sampai panen dengan menyerahkan hasil yang sudah disepakati pada waktu akad.
Inilah yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan diganti dengan harga yang jelas pada waktu akad sewa, yaitu dengan uang yang pada masa itu adalah emas dan perak. Karena mu’amalah dengan cara ini lebih jelas dan kemungkinan untuk saling mendzalimi sangatlah kecil. Ini berbeda dengan mu’amalah pada masa jahiliyah itu. Karena kemungkinan gharar (tipuan, ketidak jelasan) akan sangat mungkin terjadi pada model ini. Sebab bisa saja pihak penyewa tidak begitu memperdulikan menggarap tanah yang akan menjadi bagian pemiliki tanah itu, atau bisa jadi tidak panen sama sekali karena adanya suatu musibah atau hal-hal lain diluar kendali manusia.[2] Jika demikian, sudah pasti pemilik lahan akan menjadi pihak yang terdzalimi, karena sejak semula dia tidak mendapatkan bagian apapun, kemudian tidak ada panen lagi. Ini sama dengan pepatah Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Sedangkan mu’amalah yang diizinkan bahwa diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sejak akad sewa, pemilik lahan sudah memiliki bagian yang jelas dengan nominal tertentu, dengan mata uang yang berlaku pada saat itu. Bisa saja seseorang mengatakan bahwa dalam model mu’amalah ini masih mungkin ada pihak yang didzalimi, yaitu misalnya jika kemudian pihak penyewa menggarap tanahnya, kemudian dia tidak dapat memanen tanamannya karena adanya mibah atau gagal panen karena sebab apapun, maka dalam hal ini dia didzalimi, karena dia tidak mendapatkan bagian sama sekali.
Perbeadan mu’amalah model ini dan model jahiliyah yang dilarang adalah ketidakjelasan nilai transaksi ketika terjadinya akad. Model islami jelas nilainya, sedangkan model jahiliyah tidak jelas nominalnya. Sedangkan ketidak jelasan nasib manusia adalah merupakan urusan ghaib yang hanya Allah saja yang menetahuinya.
Ada hadits yang lebih tegas lagi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عن حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ فَيَهْلِكُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهْلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ. فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأْسَ بِهِ
Diriwatkan dari Handolah bin Qois Al Anshori bahwa dia berkata : “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang sewa menyewa tanah dengan emas dan perak. Maka dia berkata : “Tidak apa-apa. Dahulu para manusia saling menyewakan tanah pada masa sebelum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hasil tanah pada bagian yang dekat dengan air dan bendungan dan dengan bagian tertentu dari hasil tanam, sehingga bagian di sini binasa dan di bagian lain selamat, dan bagian ini selamat dan bagian lainnya binasa. Dan manusia tidak melakukan sewa menyewa kecuali dengan model ini. Karena itulah hal ini dilarang. adapun sewa menyewa dengan sesuatu yang jelas diketahui, maka tidak apa-apa”. (HR Muslim, V/24, no. 4034).
Pada hadits ini jelas membedakan dua model mu’amalah, antara yang diperbolehkan dan yang dilarang. Pada haditz ini dijelaskan bahwa Handzalah bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij, karena Rafi’ ini adalah pemilik tanah yang luas dan terbiasa untuk melakukan sewa menyewa. Karena itulah dia yang lebih memahami permasalahan ini daripada yang lainnya, karena dia adalah praktisi langsung dari model mu’amalah ini. Itulah sebabnya mengapa pertanyaan ini diajukan kepada beliau, bukan kepada Abu Hurairah misalnya, sebagai perawi hadits yang terbanyak.
Adapun mereka yang melarang sewa menyewa adalah biasanya hanya memandang kepada hadits-hadits berikut ini, tanpa menggabungkannya dengan hadits-hadits di atas yang juga shahih. Misalnya hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ أَبِى نُعْمٍ حَدَّثَنِى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ أَنَّهُ زَرَعَ أَرْضًا فَمَرَّ بِهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَسْقِيهَا فَسَأَلَهُ « لِمَنِ الزَّرْعُ وَلِمَنِ الأَرْضُ ». فَقَالَ زَرْعِى بِبَذْرِى وَعَمَلِى لِىَ الشَّطْرُ وَلِبَنِى فُلاَنٍ الشَّطْرُ. فَقَالَ « أَرْبَيْتُمَا فَرُدَّ الأَرْضَ عَلَى أَهْلِهَا وَخُذْ نَفَقَتَكَ »
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’aim bahwa Rafi’ bin Khudaij bercerita kepadanya bahwa pada waktu menggarap tanah, lewatlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di tanahnya, sedangkan dia sedang mengairinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang siapakah pemilik tanaman dan siapakah pemilik tanah. Maka dia berkata : “Tanamanku, benihku dan pekerjaanku. Aku akan memperoleh separuh dan pemilik lahan memperoleh separoh. Maka dia berkata : “Kalian telah melakukan riba. Kembalikanlah tanah itu kepada pemiliknya dan ambillah upah kerjamu”. [3]
Dhahir hadits ini melarang sewa tanah. Tetapi kalau kita memperhatikan isinya, maka hadits ini justru mempertegas makna hadits sebelumnya.
Pertama bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sahabat yang sama, yaitu Rafi’ bin Khudaij yang mustahil untuk meriwayatkan dua buah hadits yang saling kontradiksi.
Kedua bahwa larangan itu adalah tertuju kepada model sewa yang lama berlaku, yaitu penyewa tidak membayar apa-apa di muka. Dia hanya membayar sewanya dengan hasil panen di kemudian hari. Inilah yang dikatakan sebagai riba oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
B.     Hukum Menyewakan Tanah
  1. Menyewakan tanah dengan bayaran uang
Masalah menyewakan tanah dengan bayaran uang telah menjadi bahan perbincangan para ulama sejak dulu. Di antara mereka ada dua pendapat yang berbeda:
Pertama. Thawus dan al-Hasan berpendapat bahwa menyewakan tanah dengan bayaran uang hukumnya makruh. Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan Rafi’ bin Khadij:
أَنَّ النَّبِيَّ e نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ
“ Sesungguhnya Nabi melarang menyewakan sawah “ (Muttafaq ‘alaih)
Kedua. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa menyewakan tanah dengan bayaran uang hukumnya mubah. [4]
Ibn al- Mundzir berkata: “Telah sepakat umumnya ahli ilmu bahwa menyewakan tanah dalam waktu yang diketahui adalah boleh dengan bayaran emas dan perak.
Imam Ibnu Quddamah berkata: “Kami meriwayatkan pendapat ini (bolehnya menyewakan tanah dengan emas dan perak) dari Sa’d, Rafi’ bin Khadij, Ibnu Umar, al-Harits dan Ibnu Abbas. Ini juga adalah pendapat Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur dan ashhaab ar-ra’y (ulama-ulama di Iraq).”[5]
  1. Menyewakan tanah dengan bayaran barang (bahan makanan)
Dalam hal ini ada tiga bentuk :
a.       Dengan bayaran bahan makanan tertentu yang bukan dari hasil tanah sewaan tersebut.
b.      Dengan bayaran bahan makanan dari hasil tanah sewaan tersebut. Dengan ditentukan jumlahnya, seperti 1 ton, 1 kwintal … dst.
c.       Dengan bayaran bahan makanan dari hasil tanah sewaan tersebut, Dengan tidak ditentukan jumlahnya, tapi nisbahnya seperti seperempat, setengah… dst.
Dalam bentuk ketiga ini ada dua pendapat :
Pertama. Imam Ahmad dan kebanyakan ulama madzhab Hambali menyatakan bolehnya akad seperti ini.
Kedua. Imam Hanafi, Syafi’i dan Abul Khotthob (madzhab Hambali) menyatakan bahwa akad ini tidak sah. Dengan alasan: Adanya jahalah (ketidak jelasan) dalam sewaan, yang mana hal ini tidak dibenarkan dalam akad ijarah.[6]
 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Sewa menyewa tanah dengan uang yang tertentu nilainya adalah boleh.
2.      Sewa menyewa tanah dengan hasil bumi di kemudian hari adalah dilarang (haram)
3.      menyewa tanah dengan mengecualikan sebagiannya, sepertiga yang sebelah sini, yang dekat dengan irigasi mislanya adalah haram. No 2 dan 3 ini adalah mu’amalah model jahiliyah.
4.      Ibnu Umar meninggalkan sewa menyewa tanah karena dilandasi dasar sikap wara’, bukan karena haram. Karena beliau sendiri mengetahui bahwa mu’amalah model ini terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
5.      tidak mungkin seorang sahabat meriwayatkan dua model hadits yang berbeda. Larangan yang ada maknanya adalah mu’amalah dengan model no. 2 dan 3 dan kebolehan diriwayatkan adalah model no. 1
6.      penyerupaan sewa menyewa dengan riba adalah tidak tepat, kecuali untuk model ke 2 dan ke 3.
7.      larangan terhadap model no 1 dari mu’amalah ini ditafsirkan makruh oleh sebagian ulama, bukan haram. Tetapi jumhur menafsirkan larangan itu untuk model no 2 dan 3, berdasarkan hadits-hadits di atas.



[1] Hafidz Al Mundziry, Tarjamah Abu Dawud Jilid III, (Semarang: CV. Asy-syifa’, 1993), hlm. 267.
[2] Achmad Sunarto, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: Penerbit CV Asy Syifa’, 1993), hlm. 352.
[3] Hafidz Al Mundziry, Op-Cit., hlm. 271.
[4] http://namakugusti.wordpress.com/2010/09/21/sewa-menyewa-tanah-sama-dengan-riba/
[5] http://almatuq.net/hukum-menyewakan-tanah
[6] http://almatuq.net/hukum-menyewakan-tanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar