BAB I
PENDAHULUAN
Konsumsi umumnya didefinisikan sebagai pemakaian
barang-barang hasil industri (pakaian, makanan dan sebagainya), atau
barang-barang yang langsung memenuhi keperluan kita. Barang-barang seperti ini disebut sebagai
barang konsumsi. Kata yang berhubungan
dengan konsusmsi dalam Al-Qur’an dan Hadits, adalah makanan (al-ukul),
yang mencakup juga di dalamnya minuman (asy-syarab). Serta hal-hal
lainnya seperti pakaian (al-kiswan) dan perhiasan, seperti tercantum di
dalam surat Al- A’raaf ayat 31-32:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makanlah dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba_Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’
Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Konsumsi merupakan bagian akhir dan sangat penting
dalam pengolahan kekayaan. Sehingga harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang penting. Dengan demikian cara penggunaan kekayaan
(konsumsi) harus diarahkan pada pilihan-pilihan yang baik dan tepat agar dapat
dimanfaatkan pada jalan yang terbaik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perilaku Konsumsi dalam
Ekonomi Islam
- Pengertian dan Tujuan Konsumsi
Pengertian konsumsi secara
umum diformulasikan dengan: ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa,
seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan,
alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi
hukum, belajar/ kursus, dan sebagainya”.
Berangkat dari pengertian ini,
maka dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan
minum dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi pemanfaatan
atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang
paling penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi
adalah makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering
diidentikkan dengan makan dan minum.
Tujuan konsumsi dalam Islam
adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan
dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa
shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab).[1]
Sebagaimana disebut di atas,
banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al
A’raf ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman,
tetapi juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33)
dibicarakan tentang perhiasan..
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ
مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
{31} قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan
minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS 7:31
B.
Perilaku Konsumsi dalam
Ekonomi konvensional
Perilaku konsumen dalam teori ekonomi konvensional dianalisa melalui
Preferensi, Budget line, dan kombinasi antara preferensi dan budget line
sebagai pilihan konsumen.[2]
1.
Preferensi
Dalam preferensi, konsumen lebih menyukai barang-barang tertentu
dibanding dengan barang-barang lain. Ada tiga asumsi dalam preferensi, yaitu:
- Komplit/kelengkapan, konsumen mengetahui nilai utilitas dari semua pilihan yang diinginkannya.
- Transitif/konsisten, konsumen sellau konsisten dalammembuat suatu pilihan antara berbagai kombinasi barang yang ada.
- Lebih banyak lebih disukai (tanpa kepuasan), konsumen tidak merasa puas sepenuhnya meskipun sudah memperoleh semua barang kebutuhanya.
2.
Budget line
Budget line atau garis anggaran adalah garis yang menunjukkan kombinasi
dua barang yang dapat dibeli konsumen. Garis anggaran sering disebut isocost,
karena semua titik pada garis tersebut mengungkapkan sejumlah barang dengan
pengorbanan biaya yang sama.
3.
Pilihan konsumen
Preferensi dan garis anggaran merupakan dua instrumen yang diperlukan
dalam menganalisis pengambilan keputusan konsumen tentang apa yang ingin
dikonsumsinya.
Teori-teori konvensional tentang perilaku konsumen
dalam mengkonsumsi sesuatu pada umumnya memiliki beberapa asumsi, yaitu :[3]
- Barang atau jasa itu memiliki kegunaan (Utilitas) tertentu.
- Setiap konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang adalah ingin mencapai kepuasan total yang maksimal.
- Jika suatu barang dikonsumsi secara terus menerus, maka tambahan kegunaan (utilitasnya) akan semakin menurun. Hal ini mengacu dengan hukum pertambahan utilitas yang semakin menurun (The Law of Diminishing Marginal Utility).
- Jika konsumen mengkonsumsi lebih dari satu macam barang, maka ia akan menentukan kombinasi yang dapat memberikan tingkat kegunaan atau kepuasan yang maksimal.
- Konsumen akan berhenti mengkonsumsi suatu barang jika guna marginalnya sudah menyamai atau lebih rendah dari harga barang yang bersangkutan.
- Konsumen akan berupaya memaksimalkan kepuasannya sesuai dengan anggaran belanja yang dimilikinya.
- Konsumen dalam kondisi ekuilibrium atau seimbang jika dia telah menggunakan pendapatannya dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaan dari mata uang (harga) terakhir yang dibelanjakannya pada berbagai komoditi adalah sama.
C. Prinsip Konsumsi dalam Islam
Dalam ekonomi
Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi
dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku
seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi
perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan
ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan
khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.[4]
Dengan demikian
dalam Islam konsumsi itu tidak dapat dipisahkan dari peran keimanan. Peranan
keimanan menjadi tolok ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang
dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk
perilaku, gaya
hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi.
Keimanan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam
bentuk kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut sebagai bentuk
upaya meningkatkan keseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Keimanan
memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan sekaligus memotivasi
pemanfaatan sumberdaya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral
bertujuan untuk menjaga kepentingan diri agar tetap berada dalam batas-batas
kepentingan sosial. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang bentuk-bentuk
konsumsi halal dan haram, pelarangan terhadap israf, bermegah-megahan,
bermewah-mewahan, pentingnya konsumsi sosial, serta aspek-aspek normatif
lainnya.
Sejalan dengan
itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di
antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal),
berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan
kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas
ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada
Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan
akherat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya
untuk keperluan dirinya maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
Selanjutnya
secara lebih terperinci, menurut Abdul Mannan perintah Islam mengenai konsumsi
setidaknya dikendalikan oleh lima
prinsip yaitu:[5]
2.
Prinsip keadilan. Mengandung arti
bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak dilarang hukum.
Tidak membahaykan tubuh, moral dan spiritual manusia, serta tidak mengganggu
hak milik dan rasa keadilan terhadap sesama.
3.
Prinsip Kebersihan. Obyek konsumsi
haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak
kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok
untuk dikonsumsi manusia.
4.
Prinsip Kesederhanaan. Konsumsi
haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan.
Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam
berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot
produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang
yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh
agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam
Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang
moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan
secara benar dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa
tercipta.
5.
Prinsip kemurahan hati. Makanan,
minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti
kemurahanNya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan
kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat
konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika
memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah
kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka
yang sangat membutuhkannya.
6.
Prinsip moralitas. Kegiatan
konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan,
dan menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran
ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya
karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual
yang berbahagia
D.
Unsur-unsur Penentu
Preferensi Konsumen
Ketika kebutuhan masyarakat masih bisa dipenuhi oleh sumber daya yang
ada, maka tidak akan terjadi persoalan, bahkan juga tidak akan terjadi
persaingan. Namun manakala kebutuhan seseorang atau masyarakat akan barang dan
jasa sudah melebihi kemampuan penyediaan barang dan jasa tersebut, maka akan
terjadilah apa yang disebut kelangkaan.
Fenomena itu akan mendorong manusia
untuk memakmurkan bumi dan menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Kondisi kelangkaan barang juga dapat
dijadikan momen untuk menguji keimanan dan kesabaran manusia. Allah berfirman
dalam QS. Asy-Syuura ayat 27 : Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada
hamba-hambanya tentulah mereka akan melampaui batas di bumi ini.”Itulah
diantara hikmah kelangkaan barang tersebut.
Manusia harus memanfaatkannya seoptimal mungkin tanpa menimbulkan
kerusakan dan ketidakadilan dimuka bumi. Implikasi dari prinsip diatas adalah ’
tidak ada kelangkaan absolut dimuka bumi ini’. Menurut Masudul Alam Choudhury
dalam bukunya, Contributions to Islamic Economic Theory, manusia menduga adanya
kelangkaan karena adanya keterbatasan pengetahuan tentang bagaimana cara
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, dalam konsep Islam
tentang ekonomi, barang- barang yang dapat diolah oleh manusia dapat
digolongkan sebagai barang yang memiliki kelangkaan, dan termasuk ’barang
ekonomi’. Sedangkan barang-barang yang masih diluar jangkauan kapasitas produktif
manusia, bukanlah barang-barang yang langka, dengan demikian tergolong ’bukan
barang ekonomi’.
Ada
beberapa aturan yang dijadikan sebagai pegangan untuk mewujudkan rasionalitas
dalamberkonsumsi;[6]
1. Tidak boleh hidup bermewah-mewah
2. Pelarangan Israf, Tabdzir dan Safih
Israf adalah
melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam berkonsumsi. Tabdzir adalah
melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proporsional. Sedangkan Safih
adalah orang yang tidak cerdas (rusyd), dimana ia melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan syariah dan senantiasa menuruti hawa nafsunya.
3. Keseimbangan dalam berkonsumsi
4. Larangan berkonsumsi atas barang dan jasa
yang membahayakan
E.
Teori Konsumsi Islam
Menurut Imam Al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian.
Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan,
kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahap ini mingkin tidak
bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi
persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus
mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk
menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik
manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai
hamba Allah yang beribadah kepada-Nya. Disinilah letak perbedaan mendasar
antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional.
Lebih jauh Imam Al-Ghazali menekankan
pentingnya niat dalam melakukan konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan
steril. Konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Disini
tampak pula pandangan integral beliau tentang falsafah hidup seorang Muslim.
Pembahasan tentang tingkatan-tingkatan
pemenuhan kebutuhan manusia (hajat) telah menarik perhatian para ulama
disepanjang zaman. Norma dan batasan ini pada gilirannya akan membentuk gaya
hidup (life style) dan pola perilaku konsumsi (patterns of consumption
behaviour) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari gaya hidup
yang tidak diilhami oleh roh ajaran Islami.
Dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumiddin
Imam al-Ghazali membagi tiga tingkatan konsumsi yaitu, sadd ar-Ramq dan ini
disebut juga had ad-dhoruroh, had al-hajah, dan yang tertinggi adalah had
at-tana’um. Had ar-ramq atau batasan darurat adalah tingkatan konsumsi yang
paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu
bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Imam Al-Ghazali sendiri
menolak gaya hidup seperti ini karena individu tidak akan mampu melaksanakan
kewajiban agama dengan baik dan akan meruntuhkan sendi-sendi keduniaan yang
pada gilirannya juga akan meruntuhkan agama karena dunia adalah ladang akhirat
(ad-Dunya Mazro’ah al-akhirah).[7]
Tingkatan tana’um digambarkan bahwa individu pada tahapan ini
melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memehuni kebutuhannya.
Tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang. Menurut Imam Al-Ghazali gaya
hidup bersenang- senang ini tidak cocok bagi seorang mukmin yang tujuan
hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam ibadah dan ketaatan. Kendatipun
begitu, gaya hidup demikian tidak seluruhnya haram. Sebagian dihalalkan, yaitu
ketika individu menikmatinya dalam kerangka menghadapi nasib di akhirat,
walaupun untuk itu, ia akan tetap diminta pertanggungjawabannya kelak. Barangkali
keadaan ini dapat lebih ditegaskan bahwa meninggalkan had tana’um tidak
diwajibkan secara keseluruhan begitu juga menikmatinya tidak dilarang semuanya.
Antara had ad-dhorurah dengan tana’um terdapat area yang sangat luas
disebut had al-hajah dimana keseluruhannya halal dan mubah. Menurut Al-Ghazali
area ini memiliki dua ujung batasan yang berbeda yaitu ujung yang berdekatan
dengan perbatasan dharurah dan ini di nilainya tidak mungkin dipertahankan
karena akan menimbulkan kelemahan dan kesengsaraan dan ujung yang lain
berbatasan dengan tana’um dimana individu yang berada disini dianjurkan untuk
ekstra waspada. Hal ini disebabkan karena ujung perbatasan ini dapat
menjerumuskannya kedalam hal- hal yang membuatnya terlena secara tidak sadar dan
akhirnya melalaikan tugasnya dalam beribadah kepada Allah. Beliau menasehati
kita agar sedapat mungkin menetap di had al-hajah dengan sedekat mungkin
mendekati had ad-dharurah dalam rangka meneladani para Nabi dan Wali.
Belakangan Imam Suyuthi (w.911H) dalam al-Asybah wan Nazhoir menulis lima
tingkatan yaitu, dharurah, hajah, manfa’ah, ziinah dan fudhul.
BAB III
PENUTUP
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam,
memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini
menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi,
hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi
masyarakat muslim :
1. Keyakinan akan adanya hari
kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk
mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk
ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption
(karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah
present consumption.
2. Konsep sukses dalam
kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan
jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan
yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci
moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik
dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan
anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga
harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan
hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Akmal Tarigan, et al. Dasar-dasar Ekonomi Islam, Bandung:
Citapustaka Media, 2006.
M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Said Saad Marthon, Ekonomi Islam: di Tengah Krisis Ekonomi
Global, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
http://blog.sunan-ampel.ac.id/abdulhakim/2011/05/03/keterkaitan-konsumsi-dan-produksi-dalam-perspektif-ekonomi-islam/,
20 mei 2012, 17:53 WIB
[1] Akmal
Tarigan, et al. Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung: Citapustaka Media,
2006), hlm. 263.
[2] Akmal
Tarigan, Ibid., hlm. 279.
[3] http://blog.sunan-ampel.ac.id/abdulhakim/2011/05/03/keterkaitan-konsumsi-dan-produksi-dalam-perspektif-ekonomi-islam/,
20 mei 2012, 17:53 WIB
[4] M.A.
Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997), hlm. 44.
[5] Ibid.,
hlm. 45.
[6] Said
Saad Marthon, Ekonomi Islam: di Tengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004), hlm. 68.
[7]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar