Akhlak Dalam Bernegara
Tuntutan bernegara terdapat dalam
surat an-Nisa’ 59 yang berbunyi “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu,” (QS. An-Nisa’ : 4: 59). Ayat ini memerintahkan umat
islam untuk mentaati Allah, Rasul, dan para pemimpin. Yang dimaksud dengan para
pemimpin untuk konteks zaman sekarang tentulah pemerintah. Ini berarti dalam
menjalani kehidupan bernegara umat Islam harus tunduk pada pemerintah sepanjang
perintah tersebut tidak tidak bertentangan dengan perintah Allah. Berdasarkan
ayat ini pula, paham ahlus sunnah wal jamah tidak membolehkan memberontak
kepada penguasa sepanjang penguasa tidak menghalangi kaum Muslim melaksanakan
ibadahnya meskipun penguasa sendiri tidak melaksanakan syariat islam dan
berbuat zalim.
Fungsi pemerintah ibarat
“wasit” dalam sebuah pertandingan. Karena itu, setiap pelanggaran yang terjadi
di tengah masyarakat hendaklah diserahkan kepada pemerintah; dalam hal ini
adalah aparat yang berwajib yaitu kepolisiandan pengadilan. Umat islam tidak
boleh main hakim sendiri. “Pengadilan jalanan” bukannya akan menciptakan
suasana tentram, tapi meresahkan masyarakat sehingga menimbulkan instabilitas
negara yang akan berakibat pada terganggunya roda perekonomian. Sejatinya umat
islam harus membantu negara menyelesaikan tugas dan kewajibannya, bukan malah
menambah beban negara dengan melakukan aksi-aksi anarkis. Umat islam harus
bahu-membahu membantu aparat pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas mereka
karena keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan
membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut ajaran islam, umat
islam dituntut untuk tunduk pada penguasa sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran islam. Sebaliknya, mereka yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif, harus berusaha semaksimal mungkin menjalankan tugasnya dengan
baik. Dalam Al-Qur’an swt. berfirman:
“sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa’: 4: 58)
Selain menyinggung masalah
amanah, ayat diatas juga menyinggung untuk menetapkan hukum secara adil. Inilah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat islam yang menduduki jabatan di
pemerintah. Tidak menjalankan amanah ini berarti telah melakukan dosa karenanya
akan mendapatkan balasan yang setimpal di Hari Kiamat. Jadi, antara pemerintah
dan masyarakat menjadi sejahtera. Masyarakat harus membantu pemerintah dalam
menjalankan tugas-tugas mereka, begitu juga sebaliknya. Pemerintah berusaha
semaksimal mungkin melaksanakan segala tugas dam kewajibannya dengan baik. Jika
ini terlaksana, maka negara tersebut akan menjadi negara yang makmur dan
sentosa.
Islam memerintahkan umatnya
untuk selalu berbuat baik kepada masyarakat sekitarnya, baik muslim maupun
non-muslim. Perbuatan ini akan mengantarkan perilakunya menuju surga. Kemudian,
dalam bernegara umat Islam tidak boleh membangkang kepada pemerintah. Tetapi
harus tunduk dan patuh sepanjang tidak menyimpang dari ajaran islam. Segala
pelanggaran yang terjadi ditengah masyarakat hendaknya diserahkan kepada aparat
yang berwajib dan jangan main hakim sendiri.[1]
A.
Musyawarah
Secara etimologis, musyawarah
berasal dari kata syawara yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah
bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk
kata kerja mufa’alah (perbuatan yang
dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogisa, bukan
monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan
kebebasan bedialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang
dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
1.
Arti Penting Musyawarah
Musyawarah
atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di
dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan,
ketentraman, kebahagiaan dan kesukssan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah
ini. Tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini. Islam
menamakan salah satu surat Al-Qur’an dengan Asy-Syura’, di dalamnya dibicarakan
tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain, bahwa kehidupan mereka itu berdasarkan
atas musyawarah, bahkan segala urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah
di antara mereka. Sesuatu hal yang menunjukkan betapa pentingnya musyawarah
adalah, bahwa ayat tentang musyawarah itu dihubungkan dengan kewajiban sholat
dan menjauhi perbuatan keji.
2.
Lapangan Musyawarah
Berbeda
dengan teori demokrasi pada umumnya, dimana segala sesuatu bisa dan harus
dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak mayoritas dalam rangka menegakkan
kedaulatan rakyat, maka islam memberikan batasan hal-hal apa saja yang boleh
dimusyawaratkan.
Karena
musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash
(al-Qur’an dan as-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang
tidak boleh mengungguli wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jadi musyawarah hanyalah
terbatas pada hal-hal yang bersifat ijtihadiyah. Para sahabat pun kalau
dimintai pendapat tentang suatu hal, terlebih dahulu mereka bertanya kepada
Rasulullah saw., apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah
atau merupakan ijtihad Nabi. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka
mereka mengemukakan pendapat.
Masalah-masalah
ijtihadiyah itu diungkap oleh Al-Qur’an dengan kata al-amr (wa syawirhum fi
al-amr, wa amruhum syura bainahum). Istilah amruhum dalam ayat tersebut mengandung arti “masalah bersama” (common problems), yaitu masaah-masalah
yang menyangkut kepentingan atau nasib anggota masyarakat yang bersangkutan,
mulai dari urusan keluarga, organisasi, kenegaraan sampai urusan antarbangsa.
Tentu saja yang bermusyawarah memutuskan masalah bersama tersebut adalah pihak
yang terlibat dan berkepentingan dengan urusan tersebut. Dalam level keuarga
misalnya, tentu yang akan bermusyawarah adalah suami isteri dan anggota
keluarga yang lain. Dalam hal ini Allah memberikan contoh tentang musyawarah
suami isteri untuk memutuskan penyapihan bayi sebelum dua tahun. Allah
berfirman:
“...
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya ...” (QS. Al-Baqarah 2:
233)
3.
Tatacara Musyawarah
Tentang
tatacara musyawarah serta keharusan mengikuti tatacara itu, tidak ada nash
al-Qur’an dan as-Sunnah yang menerangkannya. Juga tidak ada nash yang
mengharuskan ditetapkannya jumlah anggota majlis permusyawaratan dan cara
menghadirkan para anggota.
Tatacara
musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ternyata sangat bervariasi:
(1)
Kadang
kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat
pendapat itu benar, maka beliau mengamalkannya. Seperti pendapat Al-Hubab ibn
al-Mundzir tentang pemilihan tempat yang strategisa dalam perang Badar dan
pendapat Salman al-Farisi tentang penggalian parit pertahanan dalam perang
Khandaq.
(2)
Kadang-kadang
beliau bermusyawarah dengan dua tiga orang saja. Kebanyakan dengan Abu Bakar
dan ‘Umar.
(3)
Kadang
kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwakilan,
seperti yang terjadi sesudah perang Hunain tentang rampasan perang dan
permohonan bantuan melalui utusan Hawazin.
Dari
beberapa peristiwa yang bervariasi diatas kita dapat menyimpulkan bahwa
tatacara musyawarah, anggota musyawarah, bisa selalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selau tegak
di tengah masyarakat dan negara.
B.
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Secara harfiyah amar ma’ruf nahi munkar (al-Amru bi ‘I-Ma’ruf wa ‘n-Nahya ‘an
‘I-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar.
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal,
sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad ‘Abduh,
ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’
as-salimah), sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan
hati nurani (ma ankarathu al-;uqul wa
ath-thaba’ as-salimah)
Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
mendefenisikan ma’ruf dengan “apa yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai
baik oleh akal sehat” (ma amara bihi
asy-syara’ wa ‘stahsanahu al-’aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa
yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anbu asy-syara’ wa ‘staqbahahu al-’aqlu as-salim).
Terlihat dari dua defenisi dia tas, bahwa yang
menjadi ukuran ma’ruf ataupun munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal
sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua
yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang
dilarang agama adalah munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf
dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani.
C.
KESIMPULAN
Secara etimologis, musyawarah
berasal dari kata syawara yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan
dari yang lain termasuk pendapat.
Dalam musyawarah ada 3 hal
penting yang perlu dibahas, yaitu:
1. Arti penting Musyawarah
2. Lapangan Musyawarah
3. Tatacara Musyawarah
Secara harfiyah amar ma’ruf
nahi munkar (al-Amru bi ‘I-Ma’ruf wa
‘n-Nahya ‘an ‘I-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar.
Yang menjadi ukuran ma’ruf ataupun munkarnya
sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Semua yang
diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang
agama adalah munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan
munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar