Translate

Rabu, 14 November 2012

AKHLAK DALAM BERNEGARA


Akhlak Dalam Bernegara


Tuntutan bernegara terdapat dalam surat an-Nisa’ 59 yang berbunyi “Hai  orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu,” (QS. An-Nisa’ : 4: 59). Ayat ini memerintahkan umat islam untuk mentaati Allah, Rasul, dan para pemimpin. Yang dimaksud dengan para pemimpin untuk konteks zaman sekarang tentulah pemerintah. Ini berarti dalam menjalani kehidupan bernegara umat Islam harus tunduk pada pemerintah sepanjang perintah tersebut tidak tidak bertentangan dengan perintah Allah. Berdasarkan ayat ini pula, paham ahlus sunnah wal jamah tidak membolehkan memberontak kepada penguasa sepanjang penguasa tidak menghalangi kaum Muslim melaksanakan ibadahnya meskipun penguasa sendiri tidak melaksanakan syariat islam dan berbuat zalim.
Fungsi pemerintah ibarat “wasit” dalam sebuah pertandingan. Karena itu, setiap pelanggaran yang terjadi di tengah masyarakat hendaklah diserahkan kepada pemerintah; dalam hal ini adalah aparat yang berwajib yaitu kepolisiandan pengadilan. Umat islam tidak boleh main hakim sendiri. “Pengadilan jalanan” bukannya akan menciptakan suasana tentram, tapi meresahkan masyarakat sehingga menimbulkan instabilitas negara yang akan berakibat pada terganggunya roda perekonomian. Sejatinya umat islam harus membantu negara menyelesaikan tugas dan kewajibannya, bukan malah menambah beban negara dengan melakukan aksi-aksi anarkis. Umat islam harus bahu-membahu membantu aparat pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas mereka karena keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut ajaran islam, umat islam dituntut untuk tunduk pada penguasa sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Sebaliknya, mereka yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, harus berusaha semaksimal mungkin menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam Al-Qur’an swt. berfirman:
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 4: 58)
Selain menyinggung masalah amanah, ayat diatas juga menyinggung untuk menetapkan hukum secara adil. Inilah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat islam yang menduduki jabatan di pemerintah. Tidak menjalankan amanah ini berarti telah melakukan dosa karenanya akan mendapatkan balasan yang setimpal di Hari Kiamat. Jadi, antara pemerintah dan masyarakat menjadi sejahtera. Masyarakat harus membantu pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas mereka, begitu juga sebaliknya. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan segala tugas dam kewajibannya dengan baik. Jika ini terlaksana, maka negara tersebut akan menjadi negara yang makmur dan sentosa.
Islam memerintahkan umatnya untuk selalu berbuat baik kepada masyarakat sekitarnya, baik muslim maupun non-muslim. Perbuatan ini akan mengantarkan perilakunya menuju surga. Kemudian, dalam bernegara umat Islam tidak boleh membangkang kepada pemerintah. Tetapi harus tunduk dan patuh sepanjang tidak menyimpang dari ajaran islam. Segala pelanggaran yang terjadi ditengah masyarakat hendaknya diserahkan kepada aparat yang berwajib dan jangan main hakim sendiri.[1]

A.   Musyawarah
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogisa, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan kebebasan bedialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
1.      Arti Penting Musyawarah
Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan kesukssan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini. Tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini. Islam menamakan salah satu surat Al-Qur’an dengan Asy-Syura’, di dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain, bahwa kehidupan mereka itu berdasarkan atas musyawarah, bahkan segala urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah di antara mereka. Sesuatu hal yang menunjukkan betapa pentingnya musyawarah adalah, bahwa ayat tentang musyawarah itu dihubungkan dengan kewajiban sholat dan menjauhi perbuatan keji.
2.      Lapangan Musyawarah
Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, dimana segala sesuatu bisa dan harus dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak mayoritas dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat, maka islam memberikan batasan hal-hal apa saja yang boleh dimusyawaratkan.
Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal-hal yang bersifat ijtihadiyah. Para sahabat pun kalau dimintai pendapat tentang suatu hal, terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah saw., apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan ijtihad Nabi. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat.
Masalah-masalah ijtihadiyah itu diungkap oleh Al-Qur’an dengan kata al-amr (wa syawirhum fi al-amr, wa amruhum syura bainahum). Istilah amruhum dalam ayat tersebut mengandung arti “masalah bersama” (common problems), yaitu masaah-masalah yang menyangkut kepentingan atau nasib anggota masyarakat yang bersangkutan, mulai dari urusan keluarga, organisasi, kenegaraan sampai urusan antarbangsa. Tentu saja yang bermusyawarah memutuskan masalah bersama tersebut adalah pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan urusan tersebut. Dalam level keuarga misalnya, tentu yang akan bermusyawarah adalah suami isteri dan anggota keluarga yang lain. Dalam hal ini Allah memberikan contoh tentang musyawarah suami isteri untuk memutuskan penyapihan bayi sebelum dua tahun. Allah berfirman:



“... apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya ...” (QS. Al-Baqarah 2: 233)
3.      Tatacara Musyawarah
Tentang tatacara musyawarah serta keharusan mengikuti tatacara itu, tidak ada nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menerangkannya. Juga tidak ada nash yang mengharuskan ditetapkannya jumlah anggota majlis permusyawaratan dan cara menghadirkan para anggota.
Tatacara musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ternyata sangat bervariasi:
(1)                    Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat itu benar, maka beliau mengamalkannya. Seperti pendapat Al-Hubab ibn al-Mundzir tentang pemilihan tempat yang strategisa dalam perang Badar dan pendapat Salman al-Farisi tentang penggalian parit pertahanan dalam perang Khandaq.
(2)                    Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua tiga orang saja. Kebanyakan dengan Abu Bakar dan ‘Umar.
(3)                    Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwakilan, seperti yang terjadi sesudah perang Hunain tentang rampasan perang dan permohonan bantuan melalui utusan Hawazin.
Dari beberapa peristiwa yang bervariasi diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara musyawarah, anggota musyawarah, bisa selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selau tegak di tengah masyarakat dan negara.

B.   Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Secara harfiyah amar ma’ruf nahi munkar (al-Amru bi ‘I-Ma’ruf wa ‘n-Nahya ‘an ‘I-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-;uqul wa ath-thaba’ as-salimah)
Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefenisikan ma’ruf dengan “apa yang diperintahkan syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara bihi asy-syara’ wa ‘stahsanahu al-’aqlu as-salim), sedangkan munkar adalah “apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anbu asy-syara’ wa ‘staqbahahu al-’aqlu as-salim).
Terlihat dari dua defenisi dia tas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf ataupun munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang agama adalah munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani.

C.   KESIMPULAN
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.
Dalam musyawarah ada 3 hal penting yang perlu dibahas, yaitu:
1.      Arti penting Musyawarah
2.      Lapangan Musyawarah
3.      Tatacara Musyawarah
Secara harfiyah amar ma’ruf nahi munkar (al-Amru bi ‘I-Ma’ruf wa ‘n-Nahya ‘an ‘I-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Yang menjadi ukuran ma’ruf ataupun munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang agama adalah munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani.


 Daftar Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar