-->
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Good Governance
Good Governance dapat diartikan sebagai
tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat
mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan
nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian.[1]
Secara terminologi good governance dalam
bahasa dan pemahaman masyarakat termasuk di sebagian elit politik, sering
rancu. Setidaknya ada tiga terminologi yang sering rancu, yaitu: good
governance (tata pemerintahan yang baik), good government
(pemerintahan yang baik), dan clean governance (pemerintahan yang
bersih).[2]
Good governance menurut Bank Dunia (World Bank)
adalah cara kekuasaan di gunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial
dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (the way state power is used in
managing economic and social resources for development of society). Good
governance sinonim dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang (5
prinsip):
a. Solid dan bertanggungjawab yang sejalan
dengan demokrasi dan pasar yang efisien
b. Menghindari salah alokasi dan investasi yang
terbatas
c. Pencegahan korupsi baik secara politik
maupun administratif
d. Menjalankan disiplin anggaran
e. Penciptaan kerangka politik dan hukum bagi
tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan
Menurut UNDP (United National Development Planning), good governance
di maknai sebagai praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan.
Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua
tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang
penting, yaitu:
a. Economic governance (kesejahteraan rakyat)
b. Political
governance (proses pengambilan keputusan)
c.
Administrative governance (tata laksana pelaksanaan kebijakan).[3]
Dalam proses memaknai peran
kunci stakeholders (pemangku kepentingan), mencakup 3 domain good
governance, yaitu:
a. Pemerintah (peran: menciptakan iklim politik dan hukum yang kondusif)
b. Sektor
swasta (peran: menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan)
c. Masyarakat (peran: mendorong interaksi sosial, ekonomi, politik dan
mengajak seluruh anggota masyarakat berpartisipasi)
Governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan
negara, atau pengelolaan (management) maksudnya bahwa kekuasaan tidak lagi
semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Kata governance memiliki
unsur kata kerja yaitu governing yang berarti bahwa fungsi leh pemerintah
bersama instalasi lain (LSM, swasta dan warga negara) , perlu seimbang /setara
dan multi arah (partisipatif). Governance without goverment berarti
bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam
makna proses pemerintah.
Good governance adalah tata
pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih
dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Clean
government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah
tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih
B.
Prinsip-Prinsip Good Governmance
Pemerintah adalah
organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta
undang-undang di wilayah tertentu. Berikut sembilan aspek fundamental (asas)
dalam perwujudan good governance, yaitu :
1. Partisipasi (Participation)
Semua
warga negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun melalui
lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Paradigma
sebagai center for public harus diikuti dengan berbagai aturan sehingga proses
sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik dan efisien, selain itu pemerintah
juga harus menjadi public server dengan memberikan pelayanan yang baik,
efektive, efisien, tepat waktu serta dengan biaya yang murah, sehingga mereka
memiliki kepercayaan dari masyarakat.[4]
Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya
diwujudkan dengan pajak.
2. Penegakan Hukum (Rule of Law)
Penegakan
hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan harus didukung oleh
penegakan hukum yang berwibawa. Penegakan hukum sangat berguna untuk menjaga
stabilitas nasional. Karna suatu hukum bersifat tegas dan mengikat. Perwujudan
good governance harus di imbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan
hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :[5]
a. Supremasi Hukum, yakni setiap tindakan
unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan tega
dan dijamain pelaksanaannya secara benar serta independen.
b. Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan
berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi
dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c. Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum
disusun berdasarkan aspirasi msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai
kebutuhan publik secara adil.
d. Penegakan hukum yang konsisten dan
nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa
pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai contoh aparat penegak
hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib dikenakan sanksi.
e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang
independen bebas dari pengaruh penguasa atau pengaruh lainnya. Sayangnya di
negara kita independensi peradilan belum begitu baik dan dinodai oleh aparat
penegak hukum sendiri, sebagai contoh kecilnya yaitu kasus suap jaksa.
3. Tranparasi (Transparency)
Akibat
tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak dalam kubangan
korupsi yang sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang
gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik. Dalam
pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat delapan unsur yang harus
dilakukan secara transparasi, yaitu :[6]
a.
Penetapan posisi dan jabatan.
b.
Kekayaan pejabat publik.
c.
Pemberian penghargaan.
d.
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e.
Kesehatan.
f.
Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g.
Keamanan dan ketertiban.
h.
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
4. Responsif (Responsiveness)
Asas
responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat secara umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bukan
menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus proaktif
dalam mempelajara dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi setiap
unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut
pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan
etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai
kebutuhan pubik.
5 Orientasi kesepakatan atau Konsensus
(Consensus Orientation)
Asas
konsensus adalah bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses
musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagiah
besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas
pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang
terwakili selain itu semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol
terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin tinggi tingkat
kehati-hatiannya dan akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semaki di
pertanggungjawabkan.
6. Keadilan dan Kesetaraan (Equity)
Asas
kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik.
Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan terhadap
publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas sosial.
7. Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi
(Efficiency)
Yaitu
pemerintah harus berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya
diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelopok dan lapisan sosial. Sedangkan asas
efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan
dan sasaran maka pemerintah dalam kategori efisien.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Asas
akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka.6 Setiap pejabat
publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral,
maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi
strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan
datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi good and clean
governance. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini,
harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seorang
yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus mempunyai
kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga
yang dipimpinnya.
C.
Good and Clean Governance Dan Kontrol Social
Untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok
good and clean governance, setidaknya harus melakukan lima aspek pelaksanaan
prioritas program, yakni: [7]
1. Penguatan fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
Penguatan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, DPRD, mutlak dilakukan
dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.
Selain melakukan check and balances, lembaga legislatif juga harus mampu
menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan
pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga
eksekitif.
2. Kemandirian Lembaga Peradilan, Kesan yang
paling buruk dari pemerintahan orde baru adalah ketidak mandirian lembaga
peradilan. Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat,sehingga
peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam penegakan asas rule of law.
Hakim, jaksa dan polisi tidak bisa dengan leluasa menetapkan perkara. Era
reformasi sebagai era pembaharuan juga masih belum memberikan angin segar bagi
independensi lembaga peradilan, karna mainstream pembaharuan independensi
lembaga peradilan sampai saat ini belum jelas. Untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip good and governance peningkatan
profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak
dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan
pilar yang menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan.
3.
Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal buruk dalam memberikan pelayanan publik, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dengan demikian pembaharuan konsep, mekanisme dan paradigma aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi ddengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.
Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal buruk dalam memberikan pelayanan publik, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dengan demikian pembaharuan konsep, mekanisme dan paradigma aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi ddengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.
4.
Masyarakat Madani yang Kuat dan Partisipatif, Peningkatan partisipasi
masyarakat adalah unsur penting dalam merealisasikan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak
dilakukan dan difasilitasi oleh negara. Masyarakat mempunyai hak untuk
menyampaikan usulan, mendapat informasi, dan hak untuk melakukan kritik
terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui
lembaga-lembaga perwakilan, pers maupun dilakukan secara langsung lewat
dialog-dialog terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik,
maupun organisasi sosial lainnya
5. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam
Kerangka Otonomi Daerah. Salah satu kelemahan dari pemerintahan masa lalu
adalah kuatnya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga
potensi-potensi daerah dikelola oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini
menimbulkan akses yang amat parah, karena banyak daerah yang amat kaya dengan
sumber daya alamnya, justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional. Untuk
merealisasikan prinsip-prinsip clean and good governance, kebijaksanaan ekonomi
daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi pewujudan model pemerinttahan
yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU No. 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah telah memberikan wewenang pada daerah untuk
melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial,
dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi
daerah pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat
agar pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat.
Implementasi
otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah strategi yang memiliki
tujuan ganda. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah merupakan strategi dalam
merespons tuntutan masyarakat di daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu
sharing of powers, distribution of incomes, dan kemandirian sistem manajemen di
daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat
perekonomian daerah dalam memperkokoh perekonomian nasional menuju kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
Demikian
pula dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, desentralisasi kemudian
akan mempengaruhi komponen pemerintahan lainnya, seperti bergesernya orientasi
pemerintah dari command and control menjadi berorientasi pada demand (tuntutan)
and public needs (kebutuhan public). Orientasi inilah kemudian akan menjadi
dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagi stimulator, fasilitator,
koordinator dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembagunan.
Oleh
karenanya, otonomi daerah akan menjadi formulasi yang tepat apabila diikuti
dengan serangkaian perubahan di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik
tidak saja sekedar perubahan format institusi, akan tetapi mencakup pembaharuan
alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik
tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga
cita-cita mewujudkan good governance benar-benar akan tercapai.
Cara
untuk menggunakan khazanah kekayaan negara itu dengan sebaik-baiknya ialah:
a. Melibatkan rakyat atau paling tidak orang
miskin untuk memiliki saham dalam mengusahakan pengeluaran khazanah itu. Dengan
diberikan saham kepada mereka secara subsidi dari pemerintah.
b.
Membuat perusahaan untuk mengusahakan pengeluaran kekayaan bumi tsb, supaya
hasilnya merata dan melimpah-ruah kepada negara dan rakyat, sekaligus menambah
pendapatan rakyat.
D. Good and Clean Governance dan Gerakan
Antikorupsi
Korupsi adalah tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan Negara secara spesifik. Korupsi menjadi penyebab
ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat, dan kemerosotan
moral bangsa yang terus - menerus merosot.
1.Gerakan Antikorupsi
CEREMY
Popae menawarkan strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan control
kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi10. Pertama, peluang
korupsi; kedua, keinginan korupsi. Menurutnya, korupsi terjadi jika peluang dan
keinginan dalam waktu bersamaan. Peluang dapat dikurangi dengan cara
membalikkan siasat ”laba tinggi, risiko rendah” menjadi “laba rendah, risiko
tinggi”; dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan
menegakka mekanisme akuntabilitas.
Penanggulangan
tindakan korupsi dapat dilakukan antara lain dengan:[8]
a. Adanya political will dan political action
dari pejabat Negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja
organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan
perilaku dan tindak pidana korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk
memberantas korupsi di segala lini pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi
hanya slogan kosong belaka.
b. Penegakan hokum secara tegas dan berat.
Proses eksekusi mati bagi koruptor di Cina, misalnya, telah membuat sejumlah
pejabat tinggi dan pengusaha di negeri itu menjadi jera untuk melakukan tindak
korupsi. Hal yang sama terjadi pula di Negara-negara maju di Asia, seperti
Korea Selatan, Singapura, dan Jepang termasuk Negara yang tidak kenal kompromi
dengan pelaku korupsi. Tindakan tersebut merupakan shock therapy untuk membuat
tindakan korupsi berhenti.
c. Membangun lembaga-lembaga yang mendukung
upaya pencegahan korupsi, misalnya, Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang
memeriksa pengaduan pelayanan administrasi publik yang buruk. Pada beberapa
Negara, mandat Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inspeksi atas sistem
administrasi pemerintah dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat
birokrasi. Di Indonesia telah di bentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Tim
Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) dengan tugas melakukan
investigasi individu dan lembaga, khususnya aparatur di pemerintah yang
melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga
membentuk lembaga yang mengemban misi tersebut, seperti Indonesia Corruption
Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
d.
Membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin terlaksananya
pratik good and clean governance, baik di sektor pemerintah, swasta atau
organisasi kemasyarakatan.
e. Memberikan pendidikan antikorupsi, baik
melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal,
sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi
adalah bentuk lain dari kejahatan.
e. Gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan
membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas antikorupsi
2. Tata
kelola kepemerintahan yang baik dan kinerja birokrasi pelayanan publik
Pelayanan
umum atau pelayanan publik adalah pemberian jasa, baik oleh pemerintah, pihak
swasta atas nama pemerintah maupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau
tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat Dengan
demikian, yang bisa memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas bukan
hanya instasi pemerintah, melainkan juga pihak swasta. Pelayanan publik yang
dijalankan oleh instasi pemerintah bermotif sosial dan politik, yakni
menjalankan tugas pokok serta juga mencari dukungan suara. Sedangkan, pelayanan
publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan.
Ada
beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan dan penerapan good and clean governance di Indonesia :
1. Pelayanan
publik selama ini menjadi area di mana Negara yang di wakili pemerintah
berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik
akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi.
2. Pelayanan
publik adalah wilayah dimana berbagai aspek good and clean governance bisa
diartikulasikan secara lebih mudah.
3. Pelayanan
publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, yaitu pemerintah, masyarakat,
dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi tidak pangkal
efektifnya kinerja birokrasi.
Kinerja
birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan
elemen-elemen indikator sebagai berikut ini :
1. Indikator masukan (inputs), adalah segala
sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik
barang atau jasa, yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan dan
sebagainya.
2. Indikator proses (process), yaitu sesuatu
yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara
perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu
kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
3. Indikator produk (outputs), yaitu sesuai yang
diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik maupun
nonfisik.
4. Indikator
hasil (outcomes), adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya produk
kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
Indicator manfaat (benefit), adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanan kegiatan.
Indicator manfaat (benefit), adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanan kegiatan.
5. Indikator dampak (impacts), adalah pengaruh
yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator
berdasarkan asumsi yang telah di tetapkan.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Birokrasi
Kinerja birokrasi di masa
depan akan dipengaruhi oleh faktor- faktor berikut ini:[9]
- Struktur
biroksasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang
menjalankan aktivitas birokrasi.
- Kebijakan
pengelolaan, berupa visi, misi, tujuan, sasaran, dan tujuan dalam
perencanaan strategis pada birokrasi.
- Sumber
daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas kerja dan kapasitas diri
untuk bekerja dan berkarya secara optimal.
- Sistem
informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan data base dalam
kerangka mempertinggi kinerja birokrasi. Sarana dan prasarana yang
dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi
penyelenggaraan birokrasi pada setiap aktifitas birokrasi.
- Sarana
dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan teknologi
bagi penyelenggaraan birokrasi pada setiap aktivitas birokrasi.
[1] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):
Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah,
2003), hlm. 180.
[2] http://abdulazizciviceducation.blogspot.com/2009/12/tata-kelola-kepemerintahan-yang-baik.html/2011/04/12/11.30WIB/
[4] Dede Rosyada, Op-Cit., hlm. 183.
[5] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 162.
[6] Ibid., hlm. 163.
[8] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Op-Cit., hlm 169.
[9] Ibid., hlm. 171-172.